Muqaddimah
Tarasoff Decision[1]
(atau keputusan tarasoff, aturan Tarasoff) adalah sebuah keputusan yang
mengatur kinerja terapis, psikolog dan konselor dan menyatakan bahwa hak-hak
calon korban melampaui hak-hak
kerahasiaan. Tarasoff Decision bermula dari sebuah peristiwa yang terjadi di
California sekitar tahun 1969. Prosenjit Poddar seorang mahasiswa S2 yang
berasal dari India jatuh hati pada seorang wanita, Tatiana Tarasoff, namun
ternyata usaha Poddar untuk mendapatkan hati Tarasoff harus berbuah kekecewaan,
pasalnya Tarasoff tidak tertarik dengan Poddar. Meskipun Poddar terus-menerus
melakukan pendekatan terhadap Tarasoff, namun jawaban yang diberikan Tarasoff
kepada Poddar sama saja.
Merasa depresi dengan kenyataan tersebut,
Poddar beritikad untuk mengunjungi Psikolog di Universitas California
(Universitas California adalah tempat Poddar studi) dan ingin menjalani Psikoterapi.
Poddar akhirnya berhasil menemui Psikolog dan memulai proses Psikoterapi.
Selama proses berlangsung, terungkaplah bahwa Poddar memiliki niatan untuk
membunuh Tarasoff setelah libur musim panas selesai. Psikolognya khawatir
dengan hal demikian, yang kemudian menuntun Psikolog tersebut untuk
berkonsultasi dengan koleganya dan kemudian memutuskan untuk melaporkan Poddar
ke pihak berwenang sekaligus merekomendasikan Poddar agar dibawa kerumah sakit.
Namun pasca pelaporan tersebut
berdasarkan keterangan Pihak berwenang, Poddar ketika diintrogasi menunjukkan
kesadaran yang cukup dan akhirnya melepaskan Poddar dengan syarat tidak
mendekati Tarasoff.
Poddar kemudian juga memutuskan untuk berhenti
menjalani proses psikoterapinya hingga kemudian terdengar kabar bahwa Poddar
telah menembak dan menusuk Tarasoff hingga tewas. Namun berdasarkan pada
kesaksian tiga psikolog, Poddar hanya dikenai hukuman yang ringan karena
diindikasikan mengidap Skizofrenia. Keluarga Tarasoff tentu tidak menerima hal
tersebut dan terus memperkarakan Poddar. Mereka (keluarga Tarasoff) kecewa
karena merasa para Psikolog tidak memperdulikan keselamatan Tarasoff serta
tidak berusaha untuk memberi peringatan terhadap Tarasoff.
Maka berdasarkan pada keputusan
Pengadilan Tinggi California sepakat dengan tuntutan keluarga Tarasoff dan
membuat peraturan yang menyatakan bahwa Para Terapis yang melihat ada potensi
kejatahatan klien terhadap orang lain diwajibkan untuk memberi peringatan
terhadap subjek yang dituju___tentunya selain juga dengan memberi laporan
kepada yang pihak berwenang).
Tarasoff Decision dan Konselor
Dalam buku Psikologi Abnormal karya
Jefrey S. Nevid, dkk menempatkan Tarasoff decision sebagai bahan diskusi
tersendiri pada jilid keduanya. Memang perlu dipahami relevansi penempatan
Decision Tarasoff dalam forum Psikologi Abnormal sangat perlu. Hal ini memang
seringkali terjadi, misalkan kasus Very Idham Henyansyah alias
Rian(Indonesia) yang pada beberapa tahun yang lalu dibuktikan bersalah atas
kasus-kasus pembunuhan. Kemudian pada 22 september 2011 kemarin kuasa hukumnya
mengupayakan PK (peninjauan kembali atas hukuman yang dijatuhkan pada kliennya)
dengan alasan menderita Psikopatologi sehingga tidak mungkin menerima hukuman
seumur hidup.
Memang kasus yang terjadi pada Poddar dan
Rian berbeda sama sekali. Namun pada titik pembelaan antara Poddar dan Rian
bisa saja mereka mendapatkan perlakuan ‘ringan’ berupa masa tahan yang relative
singkat dengan alasan ‘Sakit’. Oleh karenanya Tarasoff Decision akan sedikitnya
berperan sebagai pencegah terjadinya tindakan kriminal oleh oknum Abnormal.
Setidaknya itulah yang mungkin menjadi penghubung relevansi Tarasoff Decision
dan Psikologi Abnormal, karena bagaimanapun alasannya, nyawa seseorang tidak
mungkin disepelekan apalagi konsekuensi logis yang harusnya diterima terdakwa
seakan melangkahi nurani keluarga korban.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah
bagaimana seandainya Konselor mendapatkan Klien dengan tipikal sama seperti Poddar
dan Rian? Apa yang harus dilakukan oleh Konselor?. Pertanyaan inilah yang akan
coba dijawab dalam tulisan ini. Mungkin pembatasan persoalannya adalah bagaimana
cara konselor menyikapi tindakan dan atau niatan klien yang menjurus pada
perbuatan kriminal, semisal terkejamnya adalah membunuh, membuka rahasia klien
dan menyelamatkan nyawa orang lain atau menutupi rahasia, mana yang dipilih?.
Walaupun memang idealnya karakteristik klien bagi konselor adalah individu yang
tidak sampai sakit saraf, karena karakteristik seperti kesadaran, sikap, emosi
dan intelektual hanya berputar pada ranah orientasi dan bimbingan. Namun klien
yang datang dengan riwayat ‘normal’ bisa saja dalam indept interview
ternyata memiliki beberapa kelainan. Jika sampai pada saat seperti itu kemudian
ternyata sang klien mengungkapkan rahasia pribadi berupa rasa dendam yang amat
sangat terhadap suatu sosok dan memiliki kecenderungan untuk dilaksanakan dalam
bentuk yang brutal, apakah yang akan dilakukan konselor?, cukupkah untuk mengalihkan
dan melepaskan perannya begitu saja dan merekomendasikannya kepada pihak
ketiga?.
Berdasarkan pada sejarah munculnya
Tarasoff Decision, dapat dilihat bahkan untuk ahlinya saja (Psikolog_Psikiater)
tetap terbuka celah yang besar dan kelalaian yang berakibat fatal. Kode etik
memang memberikan ruang yang cukup jelas dalam memberikan arahan terhadap
mekanisme kerja konselor. Seperti yang dikutip secara penuh dari Latipun
(2006), (menurut, Redilick dan Pope, dalam Moursund, 1990), bahwa ada tujuh
pokok kode etik professional___Konselor[2],
yakni ;
- Pekerjaan itu diatas segalanya dan tidak merugikan orang lain
- Praktik profesi itu hanya dilakukan atas dasar kompetensi
- Tidak melakukan eksploitasi
- Memperlakukan seseorang dengan respek untuk martabatnya sebagai manusia
- Melindungi hal yang konfidensial
- Tindakan, kecuali dalam keadaan yang sangat ekstrim, dilakukan hanya setelah mendapatkan izin
- Profesi praktik profesi, sejauh mungkin, dalam kerangka pekerjaan sosial dan keadilan
Sekarang mari diamati point ke 5 dari
tujuh pokok kode etik konselor diatas, melindungi hal yang konfidensial, dan
ditambah lagi oleh penjelasan dari Scheiders (Latipun, 2006, George dan
Christiani, 1982), pada beberapa situasi konfidensialitas adalah bersifat
relatif, yang semisal Konselor memiliki Klien semacam Poddar berarti Konselor
dapat saja melaporkannya. Tapi bagaimana dengan hasil analisis yang dikemukan
Stone (Jefrey S. Nevid, dkk, 2005, Stone 1979), yang menyatakan beberapa hal
berikut ;
- Klien menjadi kurang bersedia memberikan informasi mendalam terkait dirinya terhadap calon potensial kekerasan
- Calon Klien akan menghindari Proses psikater (dalam hal ini Konseling)
- Terapis (dalam hal ini konselor) menjadi ragu2 untuk melakukan wawancara yang setidaknya bisa membuka rahasia mengenai tendensi tertentu yang berbahaya, karena takut dengan komplikasi hukumnya.
Menimbang analisis Stone diatas, memang
sedikit dilemma menghinggapi Konselor, tarik ulur antara Konfidensialitas dan
Tarasoff Decision. Disatu sisi Tarasoff Decision membantu atau bahkan
mempermudah Konselor dalam melihat persoalan tapi disisi lain malah membuka
ruang calon klien untuk mengurungkan niat untuk diskusi karena takut akan
dicurigai bahkan ditahan atas tuduhan yang belum dilakukan. Akhirnya memang
tidak bisa tidak perlu ada pertimbangan Etika dan Moral terhadap hal ini. Kode
etik yang menjelaskan masalah Konfidensialitas juga perlu untuk dipertimbangkan
dengan Etika dan Moral sebagai bagian juga dari sistem kode etik manusia.
Secara pribadi penulis memang belum
mengetahui mengenai bagaimana dampak dari penerapan Tarasoff Decision atau
bahkan mungkin Tarasoff Decision apakah telah diimplementasikan di Indonesia
atau belum, tidak juga diketahui, dimana diketahui baru pada beberapa Negara di
Benua Amerika yang menerapkan Tarasoff Decision ini sesuai dengan variasinya
masing-masing. Namun dengan melihat pada bagian lainnya, berdasarkan pada hasil
dari seminar mengenai Etika Profesi Psikolog 15 agustus tahun 2009 oleh Ketua
Bagan Psikologi Klinis, H. Hatta Albanik, bahwa Kode etik harus benar-benar
dipahami secara integral dan menyatu dengan hukum yang berlaku, hal ini untuk
mencegah terjadinya masalah pada diri pribadi Psikolog, kemudian juga ketika
menyinggung pada persoalan konfidensialitas, beliau mengungkapkan bahwa
konfidensialitas harus terjaga dan hanya boleh dimanfaatkan oleh konsumen
sendiri (Klien), akan tetapi dengan tegas juga beliau tuliskan juga bahwa kode
etik adalah rule of conduct, yang fungsinya adalah untuk menyelenggarakan
proses keprofesionalitas agar berguna bagi masyarakat[3].
Berarti memang pada beberapa sisi walaupun
terdapat beberapa hal yang prinsipal dalam Kode Etik semisal Konfidensialitas,
akan tetapi itu bukanlah tujuan. Jadi meskipun harus seakan berlawan atau
berbenturan dengan kode etik tidak terlalu dipersoalkan selama Kebaikan bersama
bisa diupayakan. Maka sekarang, bagi Konselor tidaklah perlu untuk terlalu
khawatir didalam melakukan wawancara yang berpotensi terungkapnya tendensi
buruk Klien, dan tidak perlu juga khawatir dengan komplikasi hukumnya, selama
masih berpegang pada kode etik dan mengacu pada Tarasoff Decision. Jadi semisal
Konselor mendapati Klien seperti Poddar atau Rian, cukuplah dengan
mempertimbangkan Tarasoff Decision dan lihatlah hukum[4]
yang membantu Konselor serta juga manfaatkanlah Asas pelimpahan wewenang,
(misalkan untuk meyakinkan bahwa Klien memang mengidap tendensi buruk terhadap
calon potensial, bisa memanfaat psikolog atau terapis untuk membantu
mendalaminya) hal ini untuk mencegah terjadinya prasangka, selain itu juga
untuk memperoleh bukti yang kuat terhadap ‘duduk perkara’.
Demikian, Wallahu a’lam bishshawaab,
Al-Fakir Illa Allah, Nashrun Min Allah Wa
Fathun Qorib
RUJUKAN
·
Bimo Walgito, 2010, Bimbingan Konseling (Studi
& Karir), Yogyakarta, Penerbit Andi
·
H. Hatta Albanik, (Online), p. 7-10, http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/08/etika_profesi_psikologi_indonesia.pdf
, (diakses 6 oktober 2011)
·
Jefrey. S. Nevid, dkk, 2005, Psikologi Abnormal,
Jilid II, Erlangga
·
Latipun, 2006, Psikologi Konseling, Ed III,
Malang, UMM Press, p. 250
[1]
Jefrey. S. Nevid, dkk, 2005, Psikologi Abnormal, Jilid II, Erlangga, p. 244-245
[2]
Latipun, 2006, Psikologi Konseling, Ed III, Malang, UMM Press, p. 250
[3] H.
Hatta Albanik, (Online), p. 7-10, http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/08/etika_profesi_psikologi_indonesia.pdf
, (diakses 6 oktober 2011)
[4]
Hukum bisa secara formil (misalkan UU tentang HAM) dan materil (berdasarkan
pada keputusan nasional dan internasional semisal APA)
0 komentar:
Posting Komentar