Terima Kasih Atas Kunjungannya Ash-Shiddiq Community

Search

Sabtu, 12 November 2011

TARASOFF DECISION ; “Menghargai Privasi atau Selamatkan Nyawa?”

Oleh : Fauzan Anwar Sandiah


Muqaddimah

Tarasoff Decision[1] (atau keputusan tarasoff, aturan Tarasoff) adalah sebuah keputusan yang mengatur kinerja terapis, psikolog dan konselor dan menyatakan bahwa hak-hak calon korban melampaui  hak-hak kerahasiaan. Tarasoff Decision bermula dari sebuah peristiwa yang terjadi di California sekitar tahun 1969. Prosenjit Poddar seorang mahasiswa S2 yang berasal dari India jatuh hati pada seorang wanita, Tatiana Tarasoff, namun ternyata usaha Poddar untuk mendapatkan hati Tarasoff harus berbuah kekecewaan, pasalnya Tarasoff tidak tertarik dengan Poddar. Meskipun Poddar terus-menerus melakukan pendekatan terhadap Tarasoff, namun jawaban yang diberikan Tarasoff kepada Poddar sama saja.

Merasa depresi dengan kenyataan tersebut, Poddar beritikad untuk mengunjungi Psikolog di Universitas California (Universitas California adalah tempat Poddar studi) dan ingin menjalani Psikoterapi. Poddar akhirnya berhasil menemui Psikolog dan memulai proses Psikoterapi. Selama proses berlangsung, terungkaplah bahwa Poddar memiliki niatan untuk membunuh Tarasoff setelah libur musim panas selesai. Psikolognya khawatir dengan hal demikian, yang kemudian menuntun Psikolog tersebut untuk berkonsultasi dengan koleganya dan kemudian memutuskan untuk melaporkan Poddar ke pihak berwenang sekaligus merekomendasikan Poddar agar dibawa kerumah sakit.  Namun pasca pelaporan tersebut berdasarkan keterangan Pihak berwenang, Poddar ketika diintrogasi menunjukkan kesadaran yang cukup dan akhirnya melepaskan Poddar dengan syarat tidak mendekati Tarasoff.

Poddar kemudian juga memutuskan untuk berhenti menjalani proses psikoterapinya hingga kemudian terdengar kabar bahwa Poddar telah menembak dan menusuk Tarasoff hingga tewas. Namun berdasarkan pada kesaksian tiga psikolog, Poddar hanya dikenai hukuman yang ringan karena diindikasikan mengidap Skizofrenia. Keluarga Tarasoff tentu tidak menerima hal tersebut dan terus memperkarakan Poddar. Mereka (keluarga Tarasoff) kecewa karena merasa para Psikolog tidak memperdulikan keselamatan Tarasoff serta tidak berusaha untuk memberi peringatan terhadap Tarasoff.

Maka berdasarkan pada keputusan Pengadilan Tinggi California sepakat dengan tuntutan keluarga Tarasoff dan membuat peraturan yang menyatakan bahwa Para Terapis yang melihat ada potensi kejatahatan klien terhadap orang lain diwajibkan untuk memberi peringatan terhadap subjek yang dituju___tentunya selain juga dengan memberi laporan kepada yang pihak berwenang).


Tarasoff Decision dan Konselor

Dalam buku Psikologi Abnormal karya Jefrey S. Nevid, dkk menempatkan Tarasoff decision sebagai bahan diskusi tersendiri pada jilid keduanya. Memang perlu dipahami relevansi penempatan Decision Tarasoff dalam forum Psikologi Abnormal sangat perlu. Hal ini memang seringkali terjadi, misalkan kasus Very Idham Henyansyah alias Rian(Indonesia) yang pada beberapa tahun yang lalu dibuktikan bersalah atas kasus-kasus pembunuhan. Kemudian pada 22 september 2011 kemarin kuasa hukumnya mengupayakan PK (peninjauan kembali atas hukuman yang dijatuhkan pada kliennya) dengan alasan menderita Psikopatologi sehingga tidak mungkin menerima hukuman seumur hidup.

Memang kasus yang terjadi pada Poddar dan Rian berbeda sama sekali. Namun pada titik pembelaan antara Poddar dan Rian bisa saja mereka mendapatkan perlakuan ‘ringan’ berupa masa tahan yang relative singkat dengan alasan ‘Sakit’. Oleh karenanya Tarasoff Decision akan sedikitnya berperan sebagai pencegah terjadinya tindakan kriminal oleh oknum Abnormal. Setidaknya itulah yang mungkin menjadi penghubung relevansi Tarasoff Decision dan Psikologi Abnormal, karena bagaimanapun alasannya, nyawa seseorang tidak mungkin disepelekan apalagi konsekuensi logis yang harusnya diterima terdakwa seakan melangkahi nurani keluarga korban.

Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana seandainya Konselor mendapatkan Klien dengan tipikal sama seperti Poddar dan Rian? Apa yang harus dilakukan oleh Konselor?. Pertanyaan inilah yang akan coba dijawab dalam tulisan ini. Mungkin pembatasan persoalannya adalah bagaimana cara konselor menyikapi tindakan dan atau niatan klien yang menjurus pada perbuatan kriminal, semisal terkejamnya adalah membunuh, membuka rahasia klien dan menyelamatkan nyawa orang lain atau menutupi rahasia, mana yang dipilih?. Walaupun memang idealnya karakteristik klien bagi konselor adalah individu yang tidak sampai sakit saraf, karena karakteristik seperti kesadaran, sikap, emosi dan intelektual hanya berputar pada ranah orientasi dan bimbingan. Namun klien yang datang dengan riwayat ‘normal’ bisa saja dalam indept interview ternyata memiliki beberapa kelainan. Jika sampai pada saat seperti itu kemudian ternyata sang klien mengungkapkan rahasia pribadi berupa rasa dendam yang amat sangat terhadap suatu sosok dan memiliki kecenderungan untuk dilaksanakan dalam bentuk yang brutal, apakah yang akan dilakukan konselor?, cukupkah untuk mengalihkan dan melepaskan perannya begitu saja dan merekomendasikannya kepada pihak ketiga?. 

Berdasarkan pada sejarah munculnya Tarasoff Decision, dapat dilihat bahkan untuk ahlinya saja (Psikolog_Psikiater) tetap terbuka celah yang besar dan kelalaian yang berakibat fatal. Kode etik memang memberikan ruang yang cukup jelas dalam memberikan arahan terhadap mekanisme kerja konselor. Seperti yang dikutip secara penuh dari Latipun (2006), (menurut, Redilick dan Pope, dalam Moursund, 1990), bahwa ada tujuh pokok kode etik professional___Konselor[2], yakni ;

  1.  Pekerjaan itu diatas segalanya dan tidak merugikan orang lain
  2.  Praktik profesi itu hanya dilakukan atas dasar kompetensi
  3. Tidak melakukan eksploitasi
  4. Memperlakukan seseorang dengan respek untuk martabatnya sebagai manusia
  5. Melindungi hal yang konfidensial
  6.  Tindakan, kecuali dalam keadaan yang sangat ekstrim, dilakukan hanya setelah mendapatkan izin
  7. Profesi praktik profesi, sejauh mungkin, dalam kerangka pekerjaan sosial dan keadilan


Sekarang mari diamati point ke 5 dari tujuh pokok kode etik konselor diatas, melindungi hal yang konfidensial, dan ditambah lagi oleh penjelasan dari Scheiders (Latipun, 2006, George dan Christiani, 1982), pada beberapa situasi konfidensialitas adalah bersifat relatif, yang semisal Konselor memiliki Klien semacam Poddar berarti Konselor dapat saja melaporkannya. Tapi bagaimana dengan hasil analisis yang dikemukan Stone (Jefrey S. Nevid, dkk, 2005, Stone 1979), yang menyatakan beberapa hal berikut ;

  1.  Klien menjadi kurang bersedia memberikan informasi mendalam terkait dirinya terhadap calon potensial kekerasan
  2. Calon Klien akan menghindari Proses psikater (dalam hal ini Konseling)
  3. Terapis (dalam hal ini konselor) menjadi ragu2 untuk melakukan wawancara yang setidaknya bisa membuka rahasia mengenai tendensi tertentu yang berbahaya, karena takut dengan komplikasi hukumnya.


Menimbang analisis Stone diatas, memang sedikit dilemma menghinggapi Konselor, tarik ulur antara Konfidensialitas dan Tarasoff Decision. Disatu sisi Tarasoff Decision membantu atau bahkan mempermudah Konselor dalam melihat persoalan tapi disisi lain malah membuka ruang calon klien untuk mengurungkan niat untuk diskusi karena takut akan dicurigai bahkan ditahan atas tuduhan yang belum dilakukan. Akhirnya memang tidak bisa tidak perlu ada pertimbangan Etika dan Moral terhadap hal ini. Kode etik yang menjelaskan masalah Konfidensialitas juga perlu untuk dipertimbangkan dengan Etika dan Moral sebagai bagian juga dari sistem kode etik manusia.

Secara pribadi penulis memang belum mengetahui mengenai bagaimana dampak dari penerapan Tarasoff Decision atau bahkan mungkin Tarasoff Decision apakah telah diimplementasikan di Indonesia atau belum, tidak juga diketahui, dimana diketahui baru pada beberapa Negara di Benua Amerika yang menerapkan Tarasoff Decision ini sesuai dengan variasinya masing-masing. Namun dengan melihat pada bagian lainnya, berdasarkan pada hasil dari seminar mengenai Etika Profesi Psikolog 15 agustus tahun 2009 oleh Ketua Bagan Psikologi Klinis, H. Hatta Albanik, bahwa Kode etik harus benar-benar dipahami secara integral dan menyatu dengan hukum yang berlaku, hal ini untuk mencegah terjadinya masalah pada diri pribadi Psikolog, kemudian juga ketika menyinggung pada persoalan konfidensialitas, beliau mengungkapkan bahwa konfidensialitas harus terjaga dan hanya boleh dimanfaatkan oleh konsumen sendiri (Klien), akan tetapi dengan tegas juga beliau tuliskan juga bahwa kode etik adalah rule of conduct, yang fungsinya adalah untuk menyelenggarakan proses keprofesionalitas agar berguna bagi masyarakat[3].

Berarti memang pada beberapa sisi walaupun terdapat beberapa hal yang prinsipal dalam Kode Etik semisal Konfidensialitas, akan tetapi itu bukanlah tujuan. Jadi meskipun harus seakan berlawan atau berbenturan dengan kode etik tidak terlalu dipersoalkan selama Kebaikan bersama bisa diupayakan. Maka sekarang, bagi Konselor tidaklah perlu untuk terlalu khawatir didalam melakukan wawancara yang berpotensi terungkapnya tendensi buruk Klien, dan tidak perlu juga khawatir dengan komplikasi hukumnya, selama masih berpegang pada kode etik dan mengacu pada Tarasoff Decision. Jadi semisal Konselor mendapati Klien seperti Poddar atau Rian, cukuplah dengan mempertimbangkan Tarasoff Decision dan lihatlah hukum[4] yang membantu Konselor serta juga manfaatkanlah Asas pelimpahan wewenang, (misalkan untuk meyakinkan bahwa Klien memang mengidap tendensi buruk terhadap calon potensial, bisa memanfaat psikolog atau terapis untuk membantu mendalaminya) hal ini untuk mencegah terjadinya prasangka, selain itu juga untuk memperoleh bukti yang kuat terhadap ‘duduk perkara’.

Demikian, Wallahu a’lam bishshawaab,
Al-Fakir Illa Allah, Nashrun Min Allah Wa Fathun Qorib


RUJUKAN

·         Bimo Walgito, 2010, Bimbingan Konseling (Studi & Karir), Yogyakarta, Penerbit Andi
·         H. Hatta Albanik, (Online), p. 7-10, http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/08/etika_profesi_psikologi_indonesia.pdf , (diakses 6 oktober 2011)
·         Jefrey. S. Nevid, dkk, 2005, Psikologi Abnormal, Jilid II, Erlangga
·         Latipun, 2006, Psikologi Konseling, Ed III, Malang, UMM Press, p. 250


[1] Jefrey. S. Nevid, dkk, 2005, Psikologi Abnormal, Jilid II, Erlangga, p. 244-245

[2] Latipun, 2006, Psikologi Konseling, Ed III, Malang, UMM Press, p. 250
[3] H. Hatta Albanik, (Online), p. 7-10, http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/08/etika_profesi_psikologi_indonesia.pdf , (diakses 6 oktober 2011)
[4] Hukum bisa secara formil (misalkan UU tentang HAM) dan materil (berdasarkan pada keputusan nasional dan internasional semisal APA)

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar