Terima Kasih Atas Kunjungannya Ash-Shiddiq Community

Search

Sabtu, 12 November 2011

Revolusi Arab dalam Sorotan (I)

Oleh : Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif


Beberapa minggu yang lalu, saya mendapat kiriman majalah kultural Fikrun wa Fann, No 95 tahun 2011 dari Yayasan Goethe-Institute, Köln, Jerman, yang terbit dua kali dalam setahun, edisi bahasa Inggris, Arab, dan Persi. Saya menerima edisi bahasa Inggris. Artikel-artikel dalam nomor ini mengu pas sekitar kejadian revolusioner di berbagai negara Arab yang semula dipicu oleh tragedi Tunisia Desember 2010.

Di luar dugaan banyak pengamat Barat, revolusi ini ternyata sekaligus mencerminkan kebangkitan rakyat di kawasan itu melawan rezim-rezim otoritarian Arab yang selama ini mendapat dukungan Barat, khususnya Amerika Serikat. Sekarang setelah kekuatan rakyat itu tidak bisa dibendung lagi, Barat dengan cepat berganti haluan: mendukung kekuatan revolusioner.

Sikap yang serbaganda ini telah menempatkan Barat hampir di seantero dunia Arab saat ini pada posisi ‘tak dapat dipercaya’, sesuatu yang sebenarnya telah lama mestinya terjadi. Tetapi, karena rezim-rezim diktator itu lebih banyak memikirkan diri sendiri, bukan rakyatnya, dan dengan bantuan serta perlindungan Barat, rentangan kekuasaan mereka dapat bertahan lama sampai meledaknya revolusi dahsyat itu sejak awal 2011.

Karena majalah ini semula direncanakan untuk mengupas dampak Tragedi 9/11 atas dunia Arab, dengan meledaknya revolusi rakyat, fokus analisisnya menjadi dua sasaran: pertama, dampak tragedi itu selama 10 tahun terakhir. Kedua, sorotan terhadap revolusi Arab yang kini tengah berlangsung secara meluas. Sebuah revolusi yang berasal dari kekuatan akar rumput, bukan revolusi yang digerakkan dari atas.

Fenomena inilah yang membedakan revolusi Arab dengan kebanyakan revolusi yang pernah dikenal sejarah peradaban manusia. Bagaimana ujungnya nanti, kita belum bisa memastikannya sekarang. Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Arab tampaknya hanya berperan secara tidak langsung dalam bentuk doktrinnya tentang keadilan, antikezaliman, dan ajaran persamaan tentang manusia di depan Tuhan dan sejarah.

Sudah tiga pemimpin puncak Arab itu terguling: Tunisia, Mesir, dan Libya. Yang lain tampaknya akan menyusul: Suriah, Yaman, Bahrain, dan mungkin dalam jangka panjang Arab Saudi, Moroko, Kuwait, dan Qatar. Semua rezim ini pada dasarnya adalah rezim korup, arogan, dan “semau gue”. Rakyat ditempatkan pada posisi “taat” kepada penguasa dengan legitimasi dalil-dalil keagamaan.

Revolusi panjang yang paling berdarah berlaku di Libya, sampai pada 20 Oktober 2011 Muamar Qadafi terbunuh di kawasan kelahirannya, Sirte. Peran NATO (Organisasi Pertahanan Atlantik Utara) untuk melumpuhkan Qadafi ini cukup penting, karena tanpa itu semua, akan sulit bagi pihak oposisi meraih kemenangan.

Dalam politik, tidak ada yang gratis. Kita bisa membayangkan peran Barat selanjutnya di Libya, khususnya dalam masalah minyak, sebab penguasa baru pasti merasa berutang budi kepada NATO yang telah berhasil melumpuhkan rezim Qadafi dengan dibantu oleh serangan udara. Sebagai seorang Muslim, kita tentu selalu berharap agar rezim-rezim pengganti ini tidak lupa kepada cita-cita revolusioner mereka untuk berpihak kepada rakyat dan keadilan, yang sebelumnya hampir absen selama sekian puluh tahun.

Bagi Barat, sebenarnya tidak penting pergantian rezim-rezim ini, sebagaimana yang terlihat selama ini. Selama rezim-rezim itu siap menjaga kepentingan Barat, tidak peduli apakah diktator, demokratik, atau campuran dari keduanya, pasti akan didukung. Slogan demokrasi dan hak-hak asasi manusia yang dikibarkan Barat selama ini tidak lain adalah topeng untuk mengelabui mangsanya.

Tetapi ironisnya, masih saja sebagian dunia Islam percaya kepada slogan-slogan itu. Bukankah watak imperialisme atau neoimperia lisme mereka dalam berbagai selubung tidak pernah dikubur? Masalahnya kemudian adalah karena elite Arab atau elite bangsa-bangsa Muslim lainnya masih berada di simpang jalan dalam menentukan sistem politiknya, sementara rakyatnya sudah muak dengan segala macam cara pembunuhan hak-haknya sebagai warga negara sekian lama. Bahkan, di kalangan kecil elite umat Islam berbicara tentang demokrasi saja masih tabu, bahkan ada yang menyebutnya sebagai sistem kafir.

Sekarang kita kembali merujuk kepada majalah Fikrun wa Fann. Pemimpin redaksinya adalah Stefen Weidner yang dalam tajuknya menulis: “Saat kami merencanakan edisi Fikrun wa Fann November tahun silam dan memutuskan bahwa topiknya adalah ’10 Tahun Pasca-9/11’, tak seorang pun dari kami bermimpi bahwa setengah tahun berjalan, dunia Arab akan mene mukan dirinya dalam suasana pergolakan yang radikal. Begitu lama dunia Arab dalam kemacetan, yang demikian aman berada di bawah aparatur negara yang menindas, dan perubahan di akar rumput kelihatannya sebagai sebuah ketidakmungkinan.”

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar