Oleh : Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif
Selanjutnya, dikatakan bahwa jika akan berlaku perubahan, pastilah secara bertahap, tidak radikal dan tidak revolusioner. "Satu-satunya jalan bagi sebuah perubahan, kami berpikir," tulis Stefan Weidner, "adalah melalui proses perubahan lamban, terpimpin, berawal dari pemerintah sendiri. Atau, karena tekanan dari luar. Di Barat, khususnya, terdapat semacam ketakutan bahwa ancaman terbesar terhadap rezim-rezim yang berkuasa adalah berupa kudeta akibat hasutan kaum ekstremis Muslim. Tak seorang pun percaya bahwa revolusi demokrasi (akan berlaku), seperti yang terjadi di Eropa pada 1989."
Menurut bacaan saya, para pengamat Barat bukan hanya sekarang saja salah hitung. Sekitar tahun 1978, Iran (yang bukan Arab) di bawah Shah Reza Pahlevi sebagai sekutu utama Amerika, masih saja dinilai sebagai sebuah pulau damai di tengah empasan gelombang dahsyat. Apa yang terjadi setahun kemudian adalah terjungkalnya rezim otokratik Pahlevi ini melalui sebuah perubahan radikal yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini, tokoh spiritual Iran yang sebelumnya berada dalam pengasingan di Prancis.
Dunia Barat dan Israel menjadi kalang kabut, tetapi apa mau dikata karena rakyat berada di belakang perubahan mendasar itu. Sejak saat itu, sebenarnya pengaruh Barat telah mulai tersingkir dari kawasan itu. Bedanya, Iran mendahului, sedangkan bangsa-bangsa Arab harus menunggu 30 tahun kemudian atau 10 tahun pasca-Tragedi 9/11 yang kemudian mengubah peta hubungan Barat dengan dunia Arab khususnya, dan dengan dunia Islam umumnya.
Dalam Fikrun wa Fann nomor 95 ini, telah tampil beberapa penulis Arab, Iran, Pakistan, dan Afghanistan yang menyoroti secara kritikal perubahan yang tengah berlaku di negerinya masing-masing akibat Tragedi 9/11 pada 2001. Penulis Aatish Taseer menggambarkan Pakistan sebagai negara yang amat terkena dampak Tragedi 9/11. Penulis perempuan Irak dari Amerika Yasmeen Hanoosh melaporkan pengalaman pribadinya pascaserangan atas Menara Kembar New York itu.
Sarjana keislaman Sonja Hegasy menulis tentang perubahan-perubahan negatif terhadap citra Islam di Barat, terutama di Jerman pasca-Tragedi 9/11. Penulis Arab Saudi Ahmad al-Wasel memetakan secara garis besar tentang perubahan yang berlaku di Saudi akibat Tragedi 9/11 itu. Teolog Iran Hasan Yousefi Eshkevari dan penulis Lebanon Alawiyyah Sobh mengupas bahaya Islam politik jika dijajarkan dengan pemahaman damai terhadap agama.
Penulis Iran dalam pengasingan, Bahman Nirumand dan Abbas Maroufi, membuat laporan tentang perubahan yang terjadi di Iran. Kemudian, wartawan dan novelis Irak ternama, Ali Badr, menggambarkan betapa sulitnya menjadi Arab atau Muslim pasca-Tragedi 9/11 yang menghebohkan itu.
Taqi Akhlaqi, penulis Afghanistan, membeberkan penderitaan rakyat Afghanistan, khususnya perempuan akibat perang yang dipaksakan Barat atas negeri miskin itu. Di bagian ujung artikelnya, Akhlaqi menulis: "Perempuan Afghan memberikan pengorbanan luar biasa dalam mengasuh anak-anaknya dan harapan mereka terletak pada masa depan anak-anaknya. Mereka ingin kebahagiaan bagi anak-anaknya, menolong mereka untuk melupakan kepahitan masa lampau. Akankah anak-anak mereka punya masa depan yang lebih baik daripada mereka?"
Di samping para penulis Arab, Iran, Pakistan, dan Afghanistan di atas, masih ada beberapa penulis Barat lain yang mengupas akibat buruk dari Tragedi 9/11 yang sebelumnya telah memberikan sorotan awal atas Revolusi Arab yang tak terbayangkan sebelumnya. Jika Revolusi Arab tidak meledak, Fikrun wa Fann tampaknya hanyalah akan mengurai akibat Tragedi 9/11 atas dunia Arab dan Islam. Dengan revolusi ini, cakupan isinya menjadi lebih luas, tidak lagi dibatasi oleh dampak Tragedi 9/11, sebagaimana yang akan dibicarakan lebih jauh, di mana peran para sastrawan dan intelektual juga tidak kecil.
Sumber : Resonansi Repuplika, 15 November 2011
Selanjutnya, dikatakan bahwa jika akan berlaku perubahan, pastilah secara bertahap, tidak radikal dan tidak revolusioner. "Satu-satunya jalan bagi sebuah perubahan, kami berpikir," tulis Stefan Weidner, "adalah melalui proses perubahan lamban, terpimpin, berawal dari pemerintah sendiri. Atau, karena tekanan dari luar. Di Barat, khususnya, terdapat semacam ketakutan bahwa ancaman terbesar terhadap rezim-rezim yang berkuasa adalah berupa kudeta akibat hasutan kaum ekstremis Muslim. Tak seorang pun percaya bahwa revolusi demokrasi (akan berlaku), seperti yang terjadi di Eropa pada 1989."
Menurut bacaan saya, para pengamat Barat bukan hanya sekarang saja salah hitung. Sekitar tahun 1978, Iran (yang bukan Arab) di bawah Shah Reza Pahlevi sebagai sekutu utama Amerika, masih saja dinilai sebagai sebuah pulau damai di tengah empasan gelombang dahsyat. Apa yang terjadi setahun kemudian adalah terjungkalnya rezim otokratik Pahlevi ini melalui sebuah perubahan radikal yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini, tokoh spiritual Iran yang sebelumnya berada dalam pengasingan di Prancis.
Dunia Barat dan Israel menjadi kalang kabut, tetapi apa mau dikata karena rakyat berada di belakang perubahan mendasar itu. Sejak saat itu, sebenarnya pengaruh Barat telah mulai tersingkir dari kawasan itu. Bedanya, Iran mendahului, sedangkan bangsa-bangsa Arab harus menunggu 30 tahun kemudian atau 10 tahun pasca-Tragedi 9/11 yang kemudian mengubah peta hubungan Barat dengan dunia Arab khususnya, dan dengan dunia Islam umumnya.
Dalam Fikrun wa Fann nomor 95 ini, telah tampil beberapa penulis Arab, Iran, Pakistan, dan Afghanistan yang menyoroti secara kritikal perubahan yang tengah berlaku di negerinya masing-masing akibat Tragedi 9/11 pada 2001. Penulis Aatish Taseer menggambarkan Pakistan sebagai negara yang amat terkena dampak Tragedi 9/11. Penulis perempuan Irak dari Amerika Yasmeen Hanoosh melaporkan pengalaman pribadinya pascaserangan atas Menara Kembar New York itu.
Sarjana keislaman Sonja Hegasy menulis tentang perubahan-perubahan negatif terhadap citra Islam di Barat, terutama di Jerman pasca-Tragedi 9/11. Penulis Arab Saudi Ahmad al-Wasel memetakan secara garis besar tentang perubahan yang berlaku di Saudi akibat Tragedi 9/11 itu. Teolog Iran Hasan Yousefi Eshkevari dan penulis Lebanon Alawiyyah Sobh mengupas bahaya Islam politik jika dijajarkan dengan pemahaman damai terhadap agama.
Penulis Iran dalam pengasingan, Bahman Nirumand dan Abbas Maroufi, membuat laporan tentang perubahan yang terjadi di Iran. Kemudian, wartawan dan novelis Irak ternama, Ali Badr, menggambarkan betapa sulitnya menjadi Arab atau Muslim pasca-Tragedi 9/11 yang menghebohkan itu.
Taqi Akhlaqi, penulis Afghanistan, membeberkan penderitaan rakyat Afghanistan, khususnya perempuan akibat perang yang dipaksakan Barat atas negeri miskin itu. Di bagian ujung artikelnya, Akhlaqi menulis: "Perempuan Afghan memberikan pengorbanan luar biasa dalam mengasuh anak-anaknya dan harapan mereka terletak pada masa depan anak-anaknya. Mereka ingin kebahagiaan bagi anak-anaknya, menolong mereka untuk melupakan kepahitan masa lampau. Akankah anak-anak mereka punya masa depan yang lebih baik daripada mereka?"
Di samping para penulis Arab, Iran, Pakistan, dan Afghanistan di atas, masih ada beberapa penulis Barat lain yang mengupas akibat buruk dari Tragedi 9/11 yang sebelumnya telah memberikan sorotan awal atas Revolusi Arab yang tak terbayangkan sebelumnya. Jika Revolusi Arab tidak meledak, Fikrun wa Fann tampaknya hanyalah akan mengurai akibat Tragedi 9/11 atas dunia Arab dan Islam. Dengan revolusi ini, cakupan isinya menjadi lebih luas, tidak lagi dibatasi oleh dampak Tragedi 9/11, sebagaimana yang akan dibicarakan lebih jauh, di mana peran para sastrawan dan intelektual juga tidak kecil.
Sumber : Resonansi Repuplika, 15 November 2011
0 komentar:
Posting Komentar