Oleh : Rina Mulyani
(Aktivis BEM-J UIN Sunan Kalijaga)
(Aktivis BEM-J UIN Sunan Kalijaga)
Kedudukan ilmu menempati posisi yang sangat tinggi. Tak satu pun aktifitas di dunia ini yang nihil dari
landasan ilmu. Segala aktifitas yang dijalankan manusia membutuhkan peran ilmu.
Dari manusia bangun tidur hingga kemudian tidur kembali, ilmu selalu
menunjukkan eksistensinya. Bahkan mencuri, mencopet, perbuatan sebaik dan
seburuk apa pun semuanya menggunakan kaidah ilmu untuk menerapkannya. Sehingga begitu
urgensinya sebuah ilmu, Allah mewajibkan
para hambaNya untuk selalu menuntut ilmu. Perintah tersebut termaktub dalam sabda Rasulullah yang artinya “
Wahai
muslim laki-laki dan muslim perempuan
wajib di atas kalian untuk menuntut ilmu dari buaian hingga liang
lahat”, selanjutnya janji Allah dalam firmanNya, Q.S Al mujaadilah: 1l dikutip
bahwa “Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu”.
Para ulama’ salaf
al-shalih telah menuangkan konsep ilmu
dalam beberapa karyanya. Imam Al-Ghozali dalam Ihya’ Ulum al-Din dan Bidayatul
Hidayah menguraikan secara mendalam
pentingnya memahami konsep ilmu
dengan baik. Menurut Hujjatul Islam Imam Al ghazali, orang yang menuntut ilmu itu ada tiga
macam: Pertama, orang yang menuntut ilmu semata-mata karena ingin mendapatkan
bekal pulang menuju akhirat. Kedua, orang yang belajar dengan niat mencari sesuatu
untuk menopang kehidupan duniawi, dan memperoleh kemuliaan serta jabatan
hormat. Ketiga, orang yang menjadikan ilmunya sebagai sarana memperbanyak
harta, bermegah-megahan dengan kedudukan, berbangga-bangga dengan banyaknya
pengikut, mengaku ulama dan tidak merasa perlu bertaubat, karena menganggap
dirinya muhsinun (orang-orang baik) (Lihat Bidayatul
Hidayah).
Tingginya
pengagungan yang Allah berikan untuk
orang-orang yang berilmu hingga dikatakan bahwa Allah lebih mencintai
orang-orang ahli ilmu dari pada orang-orang yang ahli ibadah. Hal ini menjadi
bukti konkrit betapa Allah menomor satukan orang yang mencari ilmu dan yang
berilmu serta menggunakan ilmu yang dimilikinya dengan baik. Melihat peran ilmu itu sendiri, tentu pencapaiannya juga memiliki
strategi, memiliki tujuan, dan kualifikasi masing-masing. Untuk dapat mencapai
derajat yang tinggi diperlukan perjuangan yang tidak mudah. Untuk dapat
merasakan manfaat ilmu juga memerlukan jalan bagaimana kemudian ‘proses’
mengantarkannya pada tercapainya ilmu yang sedang digali.
Kurang etis rasanya, jika mencari ilmu dilakukan secara
asal-asalan. Sesuatu yang dicari dengan jalan asal-asalan tentu juga akan
menghasilkan sesuatu yang asal-asalan.“Nurul ilmi” _cahaya ilmu _, dan
cahaya itu akan mampu menembus serta bersinar ketika “hati” sebagai penopang utama cahaya tersebut
dalam keadaan bersih. Ilmu akan mudah tertancap, saat niat awal kita mencarinya
adalah menghilangkan kebodohan dengan tetap menjaga keseimbangan yakni “
menjaga kesucian hati”.
Tidak mudah memang untuk selalu istiqomah menjaga kesucian hati ini. Ribuan bahkan jutaan godaan akan
datang dengan silih berganti. Makhluk Allah (baca syetan dan balatentaranya)
yang telah bersumpah akan mengganggu manusia hingga isyrofil menerima titah Allah
untuk meniupkan sangkakalanya sebagai tanda awal goncangnya alam semesta ini
akan selalu mencari celah bagaiamana kemudian kita tergelincir menjadi
sekawannya. Perkara yang tidak mudah ini membutuhkan
keteguhan, niat, serta konsistensi yang kuat terutama dari dalam diri kita
sendiri. Semuanya memang pilihan, dan hanya orang-orang terpilihlah yang akan
memilih pilihan sesuai dengan pilihan yang ditetapkan Allah sebagai pilihan
yang diutamakan. Petunjuk itu selalu ada, telah disediakan Allah. Petunjuk untuk
selalu menjaga hati, petunjuk untuk senantiasa ada dalam lingkaran aturanNya, petunjuk
untuk senantiasa berada dalam garis vertikal yang tertuju hanya kepada Allah,
sehingga mudah bagi kita
menerima ilmu-ilmuNya yang secara jelas
memberi kesempatan luas pada kita untuk mendapatkannya.
Batapa
meruginya kita, jika tidak dapat memanfaatkan kemudahan-kemudaan yang Allah
sediakan untuk kita. Seluas butir pasir di lautan, sebanyak lembar daun di muka
bumi ini, demikian analogi luasnya ilmu Allah. Tidak ada batasan untuk kita
terus mencarinya. Konsep ilmu pada pilihan nomor satu sebagaimana
yang dipaparkan Al-Ghozali di atas harusnya
menjadi acuan, untuk apa kita mencari ilmu. Selain tuntutan untuk menjaga hati,
syarat lain berdasar kutipan sya’ir dalam kitab “Alala tanalul ‘ilmi” hal 2
bait ke 2 yang ditulis Muhammad Ibnu Ahmad adalah :
“dhuka’in wakhirsin was tibaarin wa bulghotin wairsyadi ustazdin wa
tulizamaani”
yang jika dirtikan secara keseluruhan syarat pencari ilmu adalah:
cerdas, semangat, sabar, memiliki sangu/ bekal, memiliki guru, dan dalam jangka
waktu yang lama. Cerdas yakni mengetahui gaya belajar yang sesuai dengan
dirinya, semangat untuk terus mencari yang belum diketahuinya, sabar
terhadap setiap rintangan yang menghadangnya, sangu/ bekal (baik yang berwujud
materi/uang maupun yang lain) pepatah jawa mengatakan “jer basuki mowo beyo”
segala sesuatu membutuhkan biaya. selanjutnya semiliki
guru artinya menuntut ilmu yang baik memang seharusnya bersama dengan
seorang guru, walau tidak jarang belajar secara otodidak juga mampu membuahkan
hasil, akan tetapi lebih efektif jika belajar diikuti dengan adanya seorang
guru, karena ketika nanti menemui kesulitan akan lebih mudah memecahkan karena
berhubungan langsung dengan ahlinya. Terakhir, dalam waktu yang lama artinya ,
belajar hendaknya ditempuh dalam waktu yang terus menerus, seperti yang sudah
disampaikan di atas, bahwa ilmu Allah
itu sangat luas, tidak ada habisnya, agar optimal maka masa yang dipakai pun
juga dalam hitungan yang tidak singkat.
Demikian. mari kita
cari kunci kehidupan untuk meraih kehidupan selanjutnya. Mencarinya dengan
jalan yang telah ada dalam undang-undang Allah untuk menempatkan peran kita
sebagai kholifatullah yang sudah
sangat pasti pertanggungjawabannya akan kita haturkan di pengadilanNya kelak.
Wallohu’alam bishowab….
0 komentar:
Posting Komentar