Terima Kasih Atas Kunjungannya Ash-Shiddiq Community

Search

Rabu, 16 November 2011

Konsep Haqiqi Ilmu

Oleh : Rina Mulyani
(Aktivis BEM-J UIN Sunan Kalijaga)


Kedudukan ilmu menempati posisi yang sangat tinggi. Tak satu  pun aktifitas di dunia ini yang nihil dari landasan ilmu. Segala aktifitas yang dijalankan manusia membutuhkan peran ilmu. Dari manusia bangun tidur hingga kemudian tidur kembali, ilmu selalu menunjukkan eksistensinya. Bahkan mencuri, mencopet, perbuatan sebaik dan seburuk apa pun semuanya menggunakan kaidah ilmu untuk menerapkannya. Sehingga begitu urgensinya  sebuah ilmu, Allah mewajibkan para hambaNya untuk selalu menuntut ilmu. Perintah tersebut termaktub dalam sabda Rasulullah yang artinya Wahai muslim laki-laki dan muslim perempuan  wajib di atas kalian untuk menuntut ilmu dari buaian hingga liang lahat”, selanjutnya janji Allah dalam firmanNya, Q.S Al mujaadilah: 1l dikutip bahwa “Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu”.

Para ulama’ salaf al-shalih telah menuangkan konsep ilmu dalam beberapa karyanya. Imam Al-Ghozali dalam Ihya’ Ulum al-Din dan Bidayatul Hidayah menguraikan secara mendalam pentingnya memahami konsep ilmu dengan baik. Menurut Hujjatul Islam Imam Al ghazali, orang yang menuntut ilmu itu ada tiga macam: Pertama, orang yang menuntut ilmu semata-mata karena ingin mendapatkan bekal pulang menuju akhirat. Kedua, orang yang belajar dengan niat mencari sesuatu untuk  menopang kehidupan duniawi, dan memperoleh kemuliaan serta jabatan hormat. Ketiga, orang yang menjadikan ilmunya sebagai sarana memperbanyak harta, bermegah-megahan dengan kedudukan, berbangga-bangga dengan banyaknya pengikut, mengaku ulama dan tidak merasa perlu bertaubat, karena menganggap dirinya muhsinun (orang-orang baik) (Lihat Bidayatul Hidayah).

Tingginya pengagungan yang  Allah berikan untuk orang-orang yang berilmu hingga dikatakan bahwa Allah lebih mencintai orang-orang ahli ilmu dari pada orang-orang yang ahli ibadah. Hal ini menjadi bukti konkrit betapa Allah menomor satukan orang yang mencari ilmu dan yang berilmu serta menggunakan ilmu yang dimilikinya dengan baik. Melihat peran ilmu itu sendiri, tentu pencapaiannya juga memiliki strategi, memiliki tujuan, dan kualifikasi masing-masing. Untuk dapat mencapai derajat yang tinggi diperlukan perjuangan yang tidak mudah. Untuk dapat merasakan manfaat ilmu juga memerlukan jalan bagaimana kemudian ‘proses’ mengantarkannya pada tercapainya ilmu yang sedang digali.

Kurang etis rasanya, jika mencari ilmu dilakukan secara asal-asalan. Sesuatu yang dicari dengan jalan asal-asalan tentu juga akan menghasilkan sesuatu yang asal-asalan.“Nurul ilmi” _cahaya ilmu _, dan cahaya itu akan mampu menembus serta bersinar ketika “hati” sebagai penopang utama cahaya tersebut dalam keadaan bersih. Ilmu akan mudah tertancap, saat niat awal kita mencarinya adalah menghilangkan kebodohan dengan tetap menjaga keseimbangan yakni “ menjaga kesucian hati”.

Tidak mudah memang untuk selalu istiqomah menjaga kesucian  hati ini. Ribuan bahkan jutaan godaan akan datang dengan silih berganti. Makhluk Allah (baca syetan dan balatentaranya) yang telah bersumpah akan mengganggu manusia hingga isyrofil menerima titah Allah untuk meniupkan sangkakalanya sebagai tanda awal goncangnya alam semesta ini akan selalu mencari celah bagaiamana kemudian kita tergelincir menjadi sekawannya. Perkara yang tidak mudah ini membutuhkan keteguhan, niat, serta konsistensi yang kuat terutama dari dalam diri kita sendiri. Semuanya memang pilihan, dan hanya orang-orang terpilihlah yang akan memilih pilihan sesuai dengan pilihan yang ditetapkan Allah sebagai pilihan yang diutamakan. Petunjuk itu selalu ada, telah disediakan Allah. Petunjuk untuk selalu menjaga hati, petunjuk untuk senantiasa ada dalam lingkaran aturanNya, petunjuk untuk senantiasa berada dalam garis vertikal yang tertuju hanya kepada Allah, sehingga mudah bagi kita menerima ilmu-ilmuNya yang secara jelas memberi kesempatan luas pada kita untuk mendapatkannya.

Batapa meruginya kita, jika tidak dapat memanfaatkan kemudahan-kemudaan yang Allah sediakan untuk kita. Seluas butir pasir di lautan, sebanyak lembar daun di muka bumi ini, demikian analogi luasnya ilmu Allah. Tidak ada batasan untuk kita terus mencarinya. Konsep ilmu pada pilihan nomor satu sebagaimana yang dipaparkan Al-Ghozali di atas harusnya menjadi acuan, untuk apa kita mencari ilmu. Selain tuntutan untuk menjaga hati, syarat lain berdasar kutipan sya’ir dalam kitab “Alala tanalul ‘ilmi” hal 2 bait ke 2 yang ditulis Muhammad Ibnu Ahmad adalah :

“dhuka’in wakhirsin was tibaarin wa bulghotin wairsyadi ustazdin wa tulizamaani”

yang jika dirtikan secara keseluruhan syarat pencari ilmu adalah: cerdas, semangat, sabar, memiliki sangu/ bekal, memiliki guru, dan dalam jangka waktu yang lama. Cerdas yakni mengetahui gaya belajar yang sesuai dengan dirinya, semangat untuk terus mencari yang belum diketahuinya, sabar terhadap setiap rintangan yang menghadangnya, sangu/ bekal (baik yang berwujud materi/uang maupun yang lain) pepatah jawa mengatakan “jer basuki mowo beyo” segala sesuatu membutuhkan biaya. selanjutnya semiliki guru artinya menuntut ilmu yang baik memang seharusnya bersama dengan seorang guru, walau tidak jarang belajar secara otodidak juga mampu membuahkan hasil, akan tetapi lebih efektif jika belajar diikuti dengan adanya seorang guru, karena ketika nanti menemui kesulitan akan lebih mudah memecahkan karena berhubungan langsung dengan ahlinya. Terakhir, dalam waktu yang lama artinya , belajar hendaknya ditempuh dalam waktu yang terus menerus, seperti yang sudah disampaikan  di atas, bahwa ilmu Allah itu sangat luas, tidak ada habisnya, agar optimal maka masa yang dipakai pun juga dalam hitungan yang tidak singkat.

Demikian. mari kita cari kunci kehidupan untuk meraih kehidupan selanjutnya. Mencarinya dengan jalan yang telah ada dalam undang-undang Allah untuk menempatkan peran kita sebagai kholifatullah yang sudah sangat pasti pertanggungjawabannya akan kita haturkan di pengadilanNya kelak.

Wallohu’alam bishowab….



0 komentar:

Posting Komentar

Komentar