Oleh : ACCH
(Anti Corruption Clearing House)
Sepanjang hayat, Hamka memang mengedepankan integritas. Keberaniannya tersebut, juga didasarkan atas persoalan paling penting dalam hidup, yakni integritas itu tadi. Ketika integritas sudah diabaikan dan berganti dengan ketidakadilan dan kewenang-wenangan, Hamka pun melawan. Dia tidak peduli, meski untuk itu dia harus menerima ganjaran jeruji besi oleh Pemerintahan Soekarno. Ketika itu, dia dijebloskan ke penjara dengan tudingan makar dan ikut Gerakan Anti Soekarno (GAS).
Selepas dari penjara, 1966, Hamka tetap ulama yang juga politikus. Hamka, kemudian terpilih sebagai ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada 1975 oleh pemerintahan Orde Baru. Dan, pada periode berikutnya, dia pun terpilih kembali. Namun itu tadi, kesediaannya menjadi Ketua MUI tidak dilakukan tanpa syarat, namun disertai dengan komitmen tinggi untuk menjaga integritas. Pantang baginya disuap, untuk kepentingan siapapun, bahkan kepentingan penguasa sekalipun. "Kalau saya diminta menjadi ketua Majelis Ulama, saya terima. Akan tetapi ketahuilah, saya sebagai ulama tidak dapat dibeli," ujarnya kala itu.
Begitulah Hamka, yang kharismatik, berintegritas tinggi, dan sederhana. Sikap tersebut, seakan menjadi identitas penulis buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Dalam Lindungan Ka'bah, yang juga pernah menjadi wartawan beberapa surat kabar, termasuk Panji Masyarakat ini.
Apa buktinya? Banyak. Salah satunya, bahwa sikap tersebut ternyata juga diperlihatkan Hamka kepada lingkungan terkecilnya. Pria berdarah Minang itu, selalu menanamkan nilai-nilai kesederhanaan dan integritas kepada anak dan istrinya. Alhasil, keluarga Hamka pun menjadi keluarga sederhana yang selalu mensyukuri apa yang diberikan Sang Khaliq.
Ada satu cerita mengenai kesederhanaan keluarga Hamka. Saat itu, ketika mereka sedang berkumpul di rumah, tiba-tiba hujan deras mengguyur. Saking derasnya, terjadilah kebocoran di beberapa bagian rumah yang memang kurang layak itu. Mereka pun panik dan berusaha mencari beberapa wadah untuk menampung air yang bocor.
Sejenak, suasana terasa pilu. Gemericik air hujan yang tertampung baskom, ember, dan panci, seolah-olah menunjukkan bahwa keluarga Hamka tak memiliki daya untuk hidup lebih layak. Tetapi apakah mereka mengeluh? Sama sekali tidak. Bahkan, sang istri kemudian mengambil kertas, melipatnya, dan membuat perahu mainan dari kertas tersebut. Selanjutnya, perahu kertas itu dilayarkan pada air hujan yang tertampung pada wadah tadi. Disuruhnya anak-anak mereka yang masih kecil, untuk bermain dengan perahu kertas tersebut.
Luar biasa, suasana pilu pun berubah menjadi ceria. Keluarga Hamka sama sekali tidak menyesali kondisi yang mereka alami. Sebaliknya, mereka justru mensyukurinya sembari menanamkan nilai-nilai kesederhanaan kepada anak-anak mereka. Sama sekali tak ada kesedihan dan rasa iri melihat rumah-rumah keluarga lain bisa lebih layak dibandingkan rumah mereka. (*)
Sumber : http://acch.kpk.go.id/ed_inspirasi_hamka_2011
(Anti Corruption Clearing House)
Sepanjang hayat, Hamka memang mengedepankan integritas. Keberaniannya tersebut, juga didasarkan atas persoalan paling penting dalam hidup, yakni integritas itu tadi. Ketika integritas sudah diabaikan dan berganti dengan ketidakadilan dan kewenang-wenangan, Hamka pun melawan. Dia tidak peduli, meski untuk itu dia harus menerima ganjaran jeruji besi oleh Pemerintahan Soekarno. Ketika itu, dia dijebloskan ke penjara dengan tudingan makar dan ikut Gerakan Anti Soekarno (GAS).
Selepas dari penjara, 1966, Hamka tetap ulama yang juga politikus. Hamka, kemudian terpilih sebagai ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada 1975 oleh pemerintahan Orde Baru. Dan, pada periode berikutnya, dia pun terpilih kembali. Namun itu tadi, kesediaannya menjadi Ketua MUI tidak dilakukan tanpa syarat, namun disertai dengan komitmen tinggi untuk menjaga integritas. Pantang baginya disuap, untuk kepentingan siapapun, bahkan kepentingan penguasa sekalipun. "Kalau saya diminta menjadi ketua Majelis Ulama, saya terima. Akan tetapi ketahuilah, saya sebagai ulama tidak dapat dibeli," ujarnya kala itu.
Begitulah Hamka, yang kharismatik, berintegritas tinggi, dan sederhana. Sikap tersebut, seakan menjadi identitas penulis buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Dalam Lindungan Ka'bah, yang juga pernah menjadi wartawan beberapa surat kabar, termasuk Panji Masyarakat ini.
Apa buktinya? Banyak. Salah satunya, bahwa sikap tersebut ternyata juga diperlihatkan Hamka kepada lingkungan terkecilnya. Pria berdarah Minang itu, selalu menanamkan nilai-nilai kesederhanaan dan integritas kepada anak dan istrinya. Alhasil, keluarga Hamka pun menjadi keluarga sederhana yang selalu mensyukuri apa yang diberikan Sang Khaliq.
Ada satu cerita mengenai kesederhanaan keluarga Hamka. Saat itu, ketika mereka sedang berkumpul di rumah, tiba-tiba hujan deras mengguyur. Saking derasnya, terjadilah kebocoran di beberapa bagian rumah yang memang kurang layak itu. Mereka pun panik dan berusaha mencari beberapa wadah untuk menampung air yang bocor.
Sejenak, suasana terasa pilu. Gemericik air hujan yang tertampung baskom, ember, dan panci, seolah-olah menunjukkan bahwa keluarga Hamka tak memiliki daya untuk hidup lebih layak. Tetapi apakah mereka mengeluh? Sama sekali tidak. Bahkan, sang istri kemudian mengambil kertas, melipatnya, dan membuat perahu mainan dari kertas tersebut. Selanjutnya, perahu kertas itu dilayarkan pada air hujan yang tertampung pada wadah tadi. Disuruhnya anak-anak mereka yang masih kecil, untuk bermain dengan perahu kertas tersebut.
Luar biasa, suasana pilu pun berubah menjadi ceria. Keluarga Hamka sama sekali tidak menyesali kondisi yang mereka alami. Sebaliknya, mereka justru mensyukurinya sembari menanamkan nilai-nilai kesederhanaan kepada anak-anak mereka. Sama sekali tak ada kesedihan dan rasa iri melihat rumah-rumah keluarga lain bisa lebih layak dibandingkan rumah mereka. (*)
Sumber : http://acch.kpk.go.id/ed_inspirasi_hamka_2011
0 komentar:
Posting Komentar