Terima Kasih Atas Kunjungannya Ash-Shiddiq Community

Search

Selasa, 22 November 2011

Buya Hamka, Pahlawan Berintegritas

Oleh : Prof. Dr. H. Azyumardi Azra

Profesor DR Haji Abdul Malik Karim Amrullah-dikenal akrab sebagai Buya Hamka (17/2/1908-24/7/1981)-agaknya bagi sebagian kalangan tidak begitu dikenal sebagai pejuang. Buya Hamka lebih dikenal sebagai sastrawan dan ulama, bukan sebagai pejuang bangsa. Akibatnya, Buya Hamka terlambat menerima gelar Pahlawan Nasional dari pemerintah RI. Baru menjelang Hari Pahlawan 10 November 2011 akhirnya ia mendapatkan penghargaan yang long overdue tersebut.

Meski demikian, rasa syukur patut diungkapkan atas penghargaan negara atas jasa-jasanya yang begitu lengkap dan kompleks dalam kehidupan umat bangsa Indonesia. Buya Hamka yang otodidak bergerak dalam berbagai lapangan kehidupan sejak dari kesusastraan, pendidikan, dakwah, politik, dan perjuangan melawan kebatilan kolonialisme pra dan pasca kemerdekaan, termasuk perjuangan menegakkan kebenaran pada masa Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto.

Like father like son
Baik dalam hal keulamaan maupun kejuangan, Buya Hamka banyak mengikuti ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah (10/2/1879-2/6/1945) atau Haji Rasul yang terkenal sebagai salah satu tokoh gerakan modernisme Islam pada dasawarsa awal abad ke-20. Selain terkenal sebagai ulama yang juga memiliki jaringan keilmuan dan aktivisme dengan ulama dan tokoh pergerakan nasional lain semacam HOS Tjokroaminoto dan KH Ahmad Dahlan, Haji Rasul termasuk ulama yang paling keras menentang Belanda dengan berbagai ketetapannya semacam 'Ordonansi Sekolah Liar' dan 'Ordonansi Guru'.

Karena itu, pada 12 Januari 1941 ia dijebloskan Belanda ke dalam penjara Bukittinggi dan Agustus 1941 ia dibuang ke Sukabumi. Selanjutnya, pada masa Jepang, Haji Rasul menolak melakukan 'seikerei', membungkukkan badan pada pagi hari ke arah matahari terbit (Jepang) untuk menghormati Kaisar Tenno Heika.

Seperti ayahnya, begitu jugalah sang anak (like father like son). Di tengah keterlibatannya yang intens dalam dunia kesusastraan, keilmuan dan keulamaan, Hamka juga mewujudkan aktivisme politik dan kejuangannya. Dan, ini bermula dengan keterlibatannya di Padangpanjang sejak 1925 dalam Sarekat Islam. Seperti dicatat Federspiel (2009), Hamka menceburkan diri ke dalam SI tidak lain karena ia melihat SI sebagai kekuatan sosial-keagamaan Islam yang tangguh menghadapi kolonialisme Belanda. Meski demikian, tidak banyak informasi tentang kiprah Hamka dalam SI.

Hamka yang sejak selesai bertugas sebagai Konsul Muhammadiyah di Makassar pindah ke Medan (1936) juga aktif dalam perjuangan melawan Belanda yang terbukti sedang menghadapi tahun-tahun akhir menguasai Indonesia. Dalam bukunya, Kenang-Kenangan Hidup (Jilid 4), Hamka menceritakan tentang kiprahnya pada masa ini, termasuk bergerilya di hutan sekitar Medan. Karena kegiatannya melawan Belanda ini, ia akhirnya merasa harus kembali ke Sumatra Barat pada 1945, sebab ia merasa lebih aman. Dan, di kampung halamannya, ia menjadi penghubung krusial di antara kaum ulama dan kelompok-kelompok pejuang lainnya.

Kiprah Hamka dalam perjuangan nasional sepanjang 1945-1949 kian meningkat berbarengan dengan terjadinya perang revolusi menentang kembalinya Belanda yang terus kian merebak di seluruh Tanah Air. Pada 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional dengan anggota Chatib Sulaeman, Udin, Rangkayo Rasuna Said, dan Karim Halim.

Selain itu, Hamka juga diangkat Wakil Presiden Mohammad Hatta sebagai sekretaris Front Pertahanan Nasional yang merupakan gabungan dari berbagai partai politik. Ketua front ini adalah Bung Hatta sendiri. Selanjutnya, Hamka membentuk Badan Pembela Negara dan Kota (BPNK) yang merupakan barisan perlawanan gerilya terbesar di wilayah Sumatra Barat. Hamka sendiri sangat aktif bergerilya dan hampir tidak pernah bisa ditemui di satu tempat tetap.

Mengapa Hamka begitu aktif dalam perjuangan kemerdekaan? Ini tidak lain berdasarkan pada prinsip pokok yang dia pegang. Hamka sangat meyakini bahwa kemerdekaan bangsa sangat mutlak dalam mewujudkan dan meninggikan kemerdekaan diri (self-independence), yang merupakan keutamaan dan kebajikan pokok bagi setiap Muslim-Muslimah. Kemerdekaan diri ini mestilah bersumber dari tauhid. Dan, sebaliknya, bagi Hamka, kemerdekaan bangsa bisa terwujud jika umat Islam memiliki kemerdekaan diri atas dasar tauhid tersebut. Dan, tanpa itu kemerdekaan bangsa akhir dapat hancur berkeping-keping.

Perjuangan dengan integritas
Aktivisme kejuangan Hamka dalam kancah nasional berlanjut ketika dia dalam Pemilu 1955 terpilih lewat Partai Masyumi sebagai anggota konstituante. Dan, lewat konstituante, Masyumi berjuang untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, yang terbukti gagal. Meski Hamka semula mendukung gagasan dan perjuangan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, ia legowo dan selanjutnya menerima Pancasila sebagai dasar negara dan demokrasi sebagai sistem politik.

Tetapi, Hamka segera bersimpang jalan dengan Presiden Soekarno. Pertama, karena kian dominannya PKI. Dan, kedua, karena terus meningkatnya otoritarisme Soekarno. Ujungnya, pada 27 Agustus 1964 Hamka ditangkap dan dipenjarakan dengan tuduhan melakukan kegiatan subversi melawan rezim Soekarno. Pada saat yang sama, Majalah Panji Masyarakat yang dipimpinnya diberedel karena memuat artikel panjang Mohammad Hatta, "Demokrasi Kita", yang kritis terhadap demokrasi terpimpin ala Soekarno.

Hamka adalah pejuang dengan integritas. Dengan integritas, ia berani menyampaikan pesan kebenaran kepada penguasa-apa pun biaya yang kemudian harus ia bayar. Dan, dengan integritasnya itu pula ia menunjukkan bahwa sebagai ulama ia tidak dapat 'dibeli'-apalagi digertak.

Ini terlihat dalam pengalaman hidup Hamka pascakeluar dari tahanan seusai pergantian kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Hamka tidak lagi melibatkan diri dalam politik. Sebaliknya, menghabiskan waktunya dalam aktivisme dakwah, pendidikan, dan kepengarangan. Tetapi, pada 1975, ia menerima permintaan dari Presiden Soeharto untuk menjadi ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dan, pada saat yang sama ia menolak menerima fasilitas dari pemerintah atas posisinya tersebut. 

Adalah integritas diri yang membuat Hamka tidak bisa bertahan terlalu lama sebagai ketua umum MUI. 'Fatwa Natal' yang dikeluarkan MUI pada 7 Maret 1981 yang mengharamkan umat Islam ikut serta dalam 'Natal bersama' tidak disukai pemerintah karena dianggap dapat mengganggu kerukunan antarumat beragama. Buya Hamka menolak keinginan pemerintah-yang diwakili Menteri Agama Alamsjah Ratu Prawiranegara-untuk mencabut fatwa tersebut. Lalu, Hamka memilih mundur dari MUI daripada mengorbankan integritas keulamaannya.

Read more »

Rabu, 16 November 2011

Umat Yang Kekal

Oleh : M. Fuad Nasar., M.Sc
(Wakil Sekretaris Baznas)

Dalam satu riwayat disebutkan, seorang Yahudi datang kepada Khalifah Umar bin Khattab dan berkata, "Ada satu ayat yang telah diturunkan Allah kepada umat Muslim, andai kata ayat itu diturunkan kepada kami (Yahudi), pasti kami akan merayakannya pada hari diturunkannya."


Umar menanggapi, "Ayat manakah yang Anda maksud?" Yahudi itu menjawab, "Pada hari ini Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan Aku telah cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Aku telah meridai Islam sebagai agamamu." (QS al-Maidah [5]: 3). Umar berkata, "Demi Allah, sungguh saya mengetahui dengan pasti hari diturunkannya ayat tersebut. Diturunkan kepada Rasulullah SAW pada hari Jumat, hari Arafah, yang menjadi hari raya bagi seluruh kaum Muslimin di dunia tiap-tiap tahunnya." 

"Berpegang teguh kepada hukum Islam adalah suatu keharusan. Lebih dari itu Allah menjamin kesempurnaan hukum-hukum yang diberikan kepada umat Islam serta menjadikannya sebagai cahaya dan petunjuk. Maka, barang siapa yang menentangnya, pasti akan sesat dan buta hatinya untuk selamanya," tulis Sayyid Sabiq dalam Anashirul Quwwah Fil Islam.

Islam adalah risalah yang terakhir dan mengajarkan kebenaran dan tata nilai yang bersifat universal dan abadi, yang harus diyakini dan diamalkan setiap Muslim. Kebenaran Islam ini harus disebarkan dengan dakwah, bukan dengan jalan pemaksaan dan pengerahan kekuatan fisik. Islam tidak disebarkan dengan kekuatan pedang dan senjata, melainkan dengan kekuatan lidah dan keindahan amal perbuatan para juru dakwah. 

Islam mengajarkan, keseimbangan dan keselarasan antara kemajuan material dan spiritual. Ketakwaan kepada Allah dan amaliah umat, merupakan esensi hidup beragama. Sekiranya ajaran Islam itu dijalankan dengan baik oleh umatnya, maka takkan ada orang miskin yang telantar, tidak ada orang sakit yang tidak bisa berobat, dan tidak akan ada perpecahan, kebodohan, dan kejahatan kemanusiaan di kalangan umat Islam. Kata Syekh Muhammad Abduh, "Islam tertutup oleh umat Islamnya sendiri."

Dewasa ini kita menyaksikan posisi umat Islam yang lemah dalam percaturan politik global. Umat Islam sering kali dimanfaatkan dan dipermainkan oleh situasi yang dibikin oleh orang lain. Pada sebagian negara Muslim, tak jarang ditemukan campur tangan asing akibat ketidakmampuan umat Islam dalam mengelola rumah tangganya sendiri. Meski berada dalam tatanan masyarakat dunia yang multikultural, namun kita bisa menciptakan situasi yang kondusif untuk perkembangan dan hari depan agama ini. Bukankah umat Islam adalah umat terbaik (khaira ummah) yang dilahirkan untuk umat manusia? 

Umat Islam sebagai pemangku risalah Nabi Muhammad SAW adalah umat yang kekal sampai akhir zaman. Sebab, risalah Muhammad adalah risalah yang kekal. Salah satu doa Rasulullah yang dikabulkan oleh Tuhan, ialah umat Islam tidak akan punah dari muka bumi seperti yang dialami umat-umat terdahulu, seberapa pun kelemahan umatnya.

Namun demikian, kejayaan umat Islam dari masa ke masa bergantung pada ikhtiar dan upaya yang dilakukan oleh umat Islam sendiri. Pertolongan Allah akan datang jika umat Islam menjemputnya dengan ikhtiar yang tidak mengenal lelah. 

Wallahu a'lam.



Sumber : Hikmah Repuplika, 15 November 2011

Read more »

Revolusi Arab dalam Sorotan (II)

Oleh : Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif

Selanjutnya, dikatakan bahwa jika akan berlaku perubahan, pastilah secara bertahap, tidak radikal dan tidak revolusioner. "Satu-satunya jalan bagi sebuah perubahan, kami berpikir," tulis Stefan Weidner, "adalah melalui proses perubahan lamban, terpimpin, berawal dari pemerintah sendiri. Atau, karena tekanan dari luar. Di Barat, khususnya, terdapat semacam ketakutan bahwa ancaman terbesar terhadap rezim-rezim yang berkuasa adalah berupa kudeta akibat hasutan kaum ekstremis Muslim. Tak seorang pun percaya bahwa revolusi demokrasi (akan berlaku), seperti yang terjadi di Eropa pada 1989."

Menurut bacaan saya, para pengamat Barat bukan hanya sekarang saja salah hitung. Sekitar tahun 1978, Iran (yang bukan Arab) di bawah Shah Reza Pahlevi sebagai sekutu utama Amerika, masih saja dinilai sebagai sebuah pulau damai di tengah empasan gelombang dahsyat. Apa yang terjadi setahun kemudian adalah terjungkalnya rezim otokratik Pahlevi ini melalui sebuah perubahan radikal yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini, tokoh spiritual Iran yang sebelumnya berada dalam pengasingan di Prancis.

Dunia Barat dan Israel menjadi kalang kabut, tetapi apa mau dikata karena rakyat berada di belakang perubahan mendasar itu. Sejak saat itu, sebenarnya pengaruh Barat telah mulai tersingkir dari kawasan itu. Bedanya, Iran mendahului, sedangkan bangsa-bangsa Arab harus menunggu 30 tahun kemudian atau 10 tahun pasca-Tragedi 9/11 yang kemudian mengubah peta hubungan Barat dengan dunia Arab khususnya, dan dengan dunia Islam umumnya.

Dalam Fikrun wa Fann nomor 95 ini, telah tampil beberapa penulis Arab, Iran, Pakistan, dan Afghanistan yang menyoroti secara kritikal perubahan yang tengah berlaku di negerinya masing-masing akibat Tragedi 9/11 pada 2001. Penulis Aatish Taseer menggambarkan Pakistan sebagai negara yang amat terkena dampak Tragedi 9/11. Penulis perempuan Irak dari Amerika Yasmeen Hanoosh melaporkan pengalaman pribadinya pascaserangan atas Menara Kembar New York itu.

Sarjana keislaman Sonja Hegasy menulis tentang perubahan-perubahan negatif terhadap citra Islam di Barat, terutama di Jerman pasca-Tragedi 9/11. Penulis Arab Saudi Ahmad al-Wasel  memetakan secara garis besar tentang perubahan yang berlaku di Saudi akibat Tragedi 9/11 itu. Teolog Iran Hasan Yousefi Eshkevari dan penulis Lebanon Alawiyyah Sobh mengupas bahaya Islam politik jika dijajarkan dengan pemahaman damai terhadap agama.

Penulis Iran dalam pengasingan, Bahman Nirumand dan Abbas Maroufi, membuat laporan tentang perubahan yang terjadi di Iran. Kemudian, wartawan dan novelis Irak ternama, Ali Badr, menggambarkan betapa sulitnya menjadi Arab atau Muslim pasca-Tragedi 9/11 yang menghebohkan itu.

Taqi Akhlaqi, penulis Afghanistan, membeberkan penderitaan rakyat Afghanistan, khususnya perempuan akibat perang yang dipaksakan Barat atas negeri miskin itu. Di bagian ujung artikelnya, Akhlaqi menulis: "Perempuan Afghan memberikan pengorbanan luar biasa dalam mengasuh anak-anaknya dan harapan mereka terletak pada masa depan anak-anaknya. Mereka ingin kebahagiaan bagi anak-anaknya, menolong mereka untuk melupakan kepahitan masa lampau. Akankah anak-anak mereka punya masa depan yang lebih baik daripada mereka?"

Di samping para penulis Arab, Iran, Pakistan, dan Afghanistan di atas, masih ada beberapa penulis Barat lain yang mengupas akibat buruk dari Tragedi 9/11 yang sebelumnya telah memberikan sorotan awal atas Revolusi Arab yang tak terbayangkan sebelumnya. Jika Revolusi Arab tidak meledak, Fikrun wa Fann tampaknya hanyalah akan mengurai akibat Tragedi 9/11 atas dunia Arab dan Islam. Dengan revolusi ini, cakupan isinya menjadi lebih luas, tidak lagi dibatasi oleh dampak Tragedi 9/11, sebagaimana yang akan dibicarakan lebih jauh, di mana peran para sastrawan dan intelektual juga tidak kecil.

Sumber : Resonansi Repuplika, 15 November 2011

Read more »

Konsep Haqiqi Ilmu

Oleh : Rina Mulyani
(Aktivis BEM-J UIN Sunan Kalijaga)


Kedudukan ilmu menempati posisi yang sangat tinggi. Tak satu  pun aktifitas di dunia ini yang nihil dari landasan ilmu. Segala aktifitas yang dijalankan manusia membutuhkan peran ilmu. Dari manusia bangun tidur hingga kemudian tidur kembali, ilmu selalu menunjukkan eksistensinya. Bahkan mencuri, mencopet, perbuatan sebaik dan seburuk apa pun semuanya menggunakan kaidah ilmu untuk menerapkannya. Sehingga begitu urgensinya  sebuah ilmu, Allah mewajibkan para hambaNya untuk selalu menuntut ilmu. Perintah tersebut termaktub dalam sabda Rasulullah yang artinya Wahai muslim laki-laki dan muslim perempuan  wajib di atas kalian untuk menuntut ilmu dari buaian hingga liang lahat”, selanjutnya janji Allah dalam firmanNya, Q.S Al mujaadilah: 1l dikutip bahwa “Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu”.

Para ulama’ salaf al-shalih telah menuangkan konsep ilmu dalam beberapa karyanya. Imam Al-Ghozali dalam Ihya’ Ulum al-Din dan Bidayatul Hidayah menguraikan secara mendalam pentingnya memahami konsep ilmu dengan baik. Menurut Hujjatul Islam Imam Al ghazali, orang yang menuntut ilmu itu ada tiga macam: Pertama, orang yang menuntut ilmu semata-mata karena ingin mendapatkan bekal pulang menuju akhirat. Kedua, orang yang belajar dengan niat mencari sesuatu untuk  menopang kehidupan duniawi, dan memperoleh kemuliaan serta jabatan hormat. Ketiga, orang yang menjadikan ilmunya sebagai sarana memperbanyak harta, bermegah-megahan dengan kedudukan, berbangga-bangga dengan banyaknya pengikut, mengaku ulama dan tidak merasa perlu bertaubat, karena menganggap dirinya muhsinun (orang-orang baik) (Lihat Bidayatul Hidayah).

Tingginya pengagungan yang  Allah berikan untuk orang-orang yang berilmu hingga dikatakan bahwa Allah lebih mencintai orang-orang ahli ilmu dari pada orang-orang yang ahli ibadah. Hal ini menjadi bukti konkrit betapa Allah menomor satukan orang yang mencari ilmu dan yang berilmu serta menggunakan ilmu yang dimilikinya dengan baik. Melihat peran ilmu itu sendiri, tentu pencapaiannya juga memiliki strategi, memiliki tujuan, dan kualifikasi masing-masing. Untuk dapat mencapai derajat yang tinggi diperlukan perjuangan yang tidak mudah. Untuk dapat merasakan manfaat ilmu juga memerlukan jalan bagaimana kemudian ‘proses’ mengantarkannya pada tercapainya ilmu yang sedang digali.

Kurang etis rasanya, jika mencari ilmu dilakukan secara asal-asalan. Sesuatu yang dicari dengan jalan asal-asalan tentu juga akan menghasilkan sesuatu yang asal-asalan.“Nurul ilmi” _cahaya ilmu _, dan cahaya itu akan mampu menembus serta bersinar ketika “hati” sebagai penopang utama cahaya tersebut dalam keadaan bersih. Ilmu akan mudah tertancap, saat niat awal kita mencarinya adalah menghilangkan kebodohan dengan tetap menjaga keseimbangan yakni “ menjaga kesucian hati”.

Tidak mudah memang untuk selalu istiqomah menjaga kesucian  hati ini. Ribuan bahkan jutaan godaan akan datang dengan silih berganti. Makhluk Allah (baca syetan dan balatentaranya) yang telah bersumpah akan mengganggu manusia hingga isyrofil menerima titah Allah untuk meniupkan sangkakalanya sebagai tanda awal goncangnya alam semesta ini akan selalu mencari celah bagaiamana kemudian kita tergelincir menjadi sekawannya. Perkara yang tidak mudah ini membutuhkan keteguhan, niat, serta konsistensi yang kuat terutama dari dalam diri kita sendiri. Semuanya memang pilihan, dan hanya orang-orang terpilihlah yang akan memilih pilihan sesuai dengan pilihan yang ditetapkan Allah sebagai pilihan yang diutamakan. Petunjuk itu selalu ada, telah disediakan Allah. Petunjuk untuk selalu menjaga hati, petunjuk untuk senantiasa ada dalam lingkaran aturanNya, petunjuk untuk senantiasa berada dalam garis vertikal yang tertuju hanya kepada Allah, sehingga mudah bagi kita menerima ilmu-ilmuNya yang secara jelas memberi kesempatan luas pada kita untuk mendapatkannya.

Batapa meruginya kita, jika tidak dapat memanfaatkan kemudahan-kemudaan yang Allah sediakan untuk kita. Seluas butir pasir di lautan, sebanyak lembar daun di muka bumi ini, demikian analogi luasnya ilmu Allah. Tidak ada batasan untuk kita terus mencarinya. Konsep ilmu pada pilihan nomor satu sebagaimana yang dipaparkan Al-Ghozali di atas harusnya menjadi acuan, untuk apa kita mencari ilmu. Selain tuntutan untuk menjaga hati, syarat lain berdasar kutipan sya’ir dalam kitab “Alala tanalul ‘ilmi” hal 2 bait ke 2 yang ditulis Muhammad Ibnu Ahmad adalah :

“dhuka’in wakhirsin was tibaarin wa bulghotin wairsyadi ustazdin wa tulizamaani”

yang jika dirtikan secara keseluruhan syarat pencari ilmu adalah: cerdas, semangat, sabar, memiliki sangu/ bekal, memiliki guru, dan dalam jangka waktu yang lama. Cerdas yakni mengetahui gaya belajar yang sesuai dengan dirinya, semangat untuk terus mencari yang belum diketahuinya, sabar terhadap setiap rintangan yang menghadangnya, sangu/ bekal (baik yang berwujud materi/uang maupun yang lain) pepatah jawa mengatakan “jer basuki mowo beyo” segala sesuatu membutuhkan biaya. selanjutnya semiliki guru artinya menuntut ilmu yang baik memang seharusnya bersama dengan seorang guru, walau tidak jarang belajar secara otodidak juga mampu membuahkan hasil, akan tetapi lebih efektif jika belajar diikuti dengan adanya seorang guru, karena ketika nanti menemui kesulitan akan lebih mudah memecahkan karena berhubungan langsung dengan ahlinya. Terakhir, dalam waktu yang lama artinya , belajar hendaknya ditempuh dalam waktu yang terus menerus, seperti yang sudah disampaikan  di atas, bahwa ilmu Allah itu sangat luas, tidak ada habisnya, agar optimal maka masa yang dipakai pun juga dalam hitungan yang tidak singkat.

Demikian. mari kita cari kunci kehidupan untuk meraih kehidupan selanjutnya. Mencarinya dengan jalan yang telah ada dalam undang-undang Allah untuk menempatkan peran kita sebagai kholifatullah yang sudah sangat pasti pertanggungjawabannya akan kita haturkan di pengadilanNya kelak.

Wallohu’alam bishowab….



Read more »

Senin, 14 November 2011

Anak dan Dunia Bermain Mereka


Oleh : Suwantin Kusuma Ayu
(Aktivis BEM-J BKI UIN Sunan Kalijaga)

Judul Buku           : Mendongkrak Kecerdasan Anak Melalui Bermain dan Permainan
Penulis                 : M.Thoboni dan Fairuzul Mumtaz
Tahun Terbit        :  Cetakan Pertama, 2011
Penerbit               : Ar Ruzz Media, Yogyakarta
Dimensi Buku       :13,5x20 cm / 92 hlm

Anak dalam masa pertumbuhannya dipengaruhi berbagai macam factor baik factor ekstenal maupun Internal. Dibalik semua itu anak tidak bisa  dilepaskan dari dunianya yaitu dunia bermain. Bermain dalam kamus  besar bahasa  Indonesia  berarti adalah “melakukan sesuatu untuk bersenang-senang”.  Dengan bermain akan menimbulkn kegairah tersendiri. Selain itu bermain merupakan sarana edukasi bagi tubuh kembang anak. Manfaat bermain sangatlah banyak. Meliputi berbagai aspek, diantaranya aspek fisik, , sosial hingga aspek moral.  Pada  aspek fisik bermain dapat melatih kemampuan otot  serta menstimulasi indra tubuh, sedangkan pada apek sosial anak akan belajar mandiri dan lepas dari orang tuanya sekaligus belajar untuk menyelesaikan masalah.

Pemilihan jenis permainan juga sangatlah penting. Yang perlu diperhatikan dalam pemilihan permainan diantaranya

Melalui buku ini kita akan diajak penulis untuk mengarungi samudra bermain sebagai salah satu media edukasi bagi kecerdasan anak. Dalam buku ini , penulis tidak hanya memaparkan tahapan demi tahapan perkembangan serta tugas`perkembangan anak yang bisa menjadi referensi bagi orang tua dan pendidik.  Namun juga memparkan seputar dunia bermain yang sngat luas. Dari mulai manfaat bermain, tujuan dari bermain dan permainan, Jenis-jenis permainan , tips memilih permainan serta beberapa contoh permainan islam yang bisa menjadi referensi. Penulis juga mengajak kita untuk membuka mata serta merubah mainstream yang selama ini kta bangun. Bahwa kecerdasan hanya terbentuk melalui kegiataan belajar saja , padahal kecerdasan anak bisa terbentuk pula melalui dunia bermainnya.

Bahasanya yang ringan dan mudah dicerna sangat pas  untuk  ibu-bu dari berbagai kalangan sebagai referensi untuk  mendidik putra-putri mereka.  Buku ini juga bisa menjadi rujukan yang pas bagi pendidik anak usia dini serta aktivis anak maupun sebagai referensi keilmuan bagi mahasiswa.
Sayangnya penulis tidak membahas setiap sub bahasanya secara mendalam sehingga menimbulkan rasa penasaran serta tanda tanya . Pembahasan yang lebih mendalam dan luas akan memperkaya wawasan , selain itu pembaca akan lebih mudah memahaminya. Penyertaan contoh-contoh real akanmenjadikan buku ini semakin berbobot.

Namun dibalik semua kekurangan ini, buku ini tetap memberikan warna bebeda berkaitan dengan dunia anak. Dunia bermain seakan menjadi sesuatu hal yang kurang diperhatikan. Faktanya anak-anak justru kehilangan dunianya diusia dini. Dengan membaca buku ini diharapkan bisa  menjadi referensi bagi pendidik untuk lebih memperhatikan dunia anak yaitu dunia bermain serta bisa menjadi rujukan untuk membuat inovasi baru didunia pendidikan. Oleh karena itu jangan lewatkan untuk membaca buku yang sangat menarik dan asyik ini jika anda tidak ingin menyesal suatu hari nanti. Selamat Membaca

Read more »

Minggu, 13 November 2011

Buya Hamka : Karismatik dan Sederhana

Oleh : ACCH
(Anti Corruption Clearing House)

Sepanjang hayat, Hamka memang mengedepankan integritas. Keberaniannya tersebut, juga didasarkan atas persoalan paling penting dalam hidup, yakni integritas itu tadi. Ketika integritas sudah diabaikan dan berganti dengan ketidakadilan dan kewenang-wenangan, Hamka pun melawan. Dia tidak peduli, meski untuk itu dia harus menerima ganjaran jeruji besi oleh Pemerintahan Soekarno. Ketika itu, dia dijebloskan ke penjara dengan tudingan makar dan ikut Gerakan Anti Soekarno (GAS).


Selepas dari penjara, 1966, Hamka tetap ulama yang juga politikus. Hamka, kemudian terpilih sebagai ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada 1975 oleh pemerintahan Orde Baru. Dan, pada periode berikutnya, dia pun terpilih kembali. Namun itu tadi, kesediaannya menjadi Ketua MUI tidak dilakukan tanpa syarat, namun disertai dengan komitmen tinggi untuk menjaga integritas. Pantang baginya disuap, untuk kepentingan siapapun, bahkan kepentingan penguasa sekalipun. "Kalau saya diminta menjadi ketua Majelis Ulama, saya terima. Akan tetapi ketahuilah, saya sebagai ulama tidak dapat dibeli," ujarnya kala itu.

Begitulah Hamka, yang kharismatik, berintegritas tinggi, dan sederhana. Sikap tersebut, seakan menjadi identitas penulis buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Dalam Lindungan Ka'bah, yang juga pernah menjadi wartawan beberapa surat kabar, termasuk Panji Masyarakat ini.

Apa buktinya? Banyak. Salah satunya, bahwa sikap tersebut ternyata juga diperlihatkan Hamka kepada lingkungan terkecilnya. Pria berdarah Minang itu, selalu menanamkan nilai-nilai kesederhanaan dan integritas kepada anak dan istrinya. Alhasil, keluarga Hamka pun menjadi keluarga sederhana yang selalu mensyukuri apa yang diberikan Sang Khaliq.

Ada satu cerita mengenai kesederhanaan keluarga Hamka.  Saat itu, ketika mereka sedang berkumpul di rumah, tiba-tiba hujan deras mengguyur. Saking derasnya, terjadilah kebocoran di beberapa bagian rumah yang memang kurang layak itu. Mereka pun panik dan berusaha mencari  beberapa wadah untuk menampung air yang bocor.

Sejenak, suasana terasa pilu. Gemericik air hujan yang tertampung baskom, ember, dan panci, seolah-olah menunjukkan bahwa keluarga Hamka tak memiliki daya untuk hidup lebih layak. Tetapi apakah mereka mengeluh? Sama sekali tidak. Bahkan, sang istri kemudian mengambil kertas, melipatnya, dan membuat perahu mainan dari kertas tersebut. Selanjutnya, perahu kertas itu dilayarkan pada air hujan yang tertampung pada wadah tadi. Disuruhnya anak-anak mereka yang masih kecil, untuk bermain dengan perahu kertas tersebut.

Luar biasa, suasana pilu pun berubah menjadi ceria. Keluarga Hamka sama sekali tidak menyesali kondisi yang mereka alami. Sebaliknya, mereka justru mensyukurinya sembari menanamkan nilai-nilai kesederhanaan kepada anak-anak mereka. Sama sekali tak ada kesedihan dan rasa iri melihat rumah-rumah keluarga lain bisa lebih layak dibandingkan rumah mereka. (*)


Sumber : http://acch.kpk.go.id/ed_inspirasi_hamka_2011

Read more »

Sabtu, 12 November 2011

TARASOFF DECISION ; “Menghargai Privasi atau Selamatkan Nyawa?”

Oleh : Fauzan Anwar Sandiah


Muqaddimah

Tarasoff Decision[1] (atau keputusan tarasoff, aturan Tarasoff) adalah sebuah keputusan yang mengatur kinerja terapis, psikolog dan konselor dan menyatakan bahwa hak-hak calon korban melampaui  hak-hak kerahasiaan. Tarasoff Decision bermula dari sebuah peristiwa yang terjadi di California sekitar tahun 1969. Prosenjit Poddar seorang mahasiswa S2 yang berasal dari India jatuh hati pada seorang wanita, Tatiana Tarasoff, namun ternyata usaha Poddar untuk mendapatkan hati Tarasoff harus berbuah kekecewaan, pasalnya Tarasoff tidak tertarik dengan Poddar. Meskipun Poddar terus-menerus melakukan pendekatan terhadap Tarasoff, namun jawaban yang diberikan Tarasoff kepada Poddar sama saja.

Merasa depresi dengan kenyataan tersebut, Poddar beritikad untuk mengunjungi Psikolog di Universitas California (Universitas California adalah tempat Poddar studi) dan ingin menjalani Psikoterapi. Poddar akhirnya berhasil menemui Psikolog dan memulai proses Psikoterapi. Selama proses berlangsung, terungkaplah bahwa Poddar memiliki niatan untuk membunuh Tarasoff setelah libur musim panas selesai. Psikolognya khawatir dengan hal demikian, yang kemudian menuntun Psikolog tersebut untuk berkonsultasi dengan koleganya dan kemudian memutuskan untuk melaporkan Poddar ke pihak berwenang sekaligus merekomendasikan Poddar agar dibawa kerumah sakit.  Namun pasca pelaporan tersebut berdasarkan keterangan Pihak berwenang, Poddar ketika diintrogasi menunjukkan kesadaran yang cukup dan akhirnya melepaskan Poddar dengan syarat tidak mendekati Tarasoff.

Poddar kemudian juga memutuskan untuk berhenti menjalani proses psikoterapinya hingga kemudian terdengar kabar bahwa Poddar telah menembak dan menusuk Tarasoff hingga tewas. Namun berdasarkan pada kesaksian tiga psikolog, Poddar hanya dikenai hukuman yang ringan karena diindikasikan mengidap Skizofrenia. Keluarga Tarasoff tentu tidak menerima hal tersebut dan terus memperkarakan Poddar. Mereka (keluarga Tarasoff) kecewa karena merasa para Psikolog tidak memperdulikan keselamatan Tarasoff serta tidak berusaha untuk memberi peringatan terhadap Tarasoff.

Maka berdasarkan pada keputusan Pengadilan Tinggi California sepakat dengan tuntutan keluarga Tarasoff dan membuat peraturan yang menyatakan bahwa Para Terapis yang melihat ada potensi kejatahatan klien terhadap orang lain diwajibkan untuk memberi peringatan terhadap subjek yang dituju___tentunya selain juga dengan memberi laporan kepada yang pihak berwenang).


Tarasoff Decision dan Konselor

Dalam buku Psikologi Abnormal karya Jefrey S. Nevid, dkk menempatkan Tarasoff decision sebagai bahan diskusi tersendiri pada jilid keduanya. Memang perlu dipahami relevansi penempatan Decision Tarasoff dalam forum Psikologi Abnormal sangat perlu. Hal ini memang seringkali terjadi, misalkan kasus Very Idham Henyansyah alias Rian(Indonesia) yang pada beberapa tahun yang lalu dibuktikan bersalah atas kasus-kasus pembunuhan. Kemudian pada 22 september 2011 kemarin kuasa hukumnya mengupayakan PK (peninjauan kembali atas hukuman yang dijatuhkan pada kliennya) dengan alasan menderita Psikopatologi sehingga tidak mungkin menerima hukuman seumur hidup.

Memang kasus yang terjadi pada Poddar dan Rian berbeda sama sekali. Namun pada titik pembelaan antara Poddar dan Rian bisa saja mereka mendapatkan perlakuan ‘ringan’ berupa masa tahan yang relative singkat dengan alasan ‘Sakit’. Oleh karenanya Tarasoff Decision akan sedikitnya berperan sebagai pencegah terjadinya tindakan kriminal oleh oknum Abnormal. Setidaknya itulah yang mungkin menjadi penghubung relevansi Tarasoff Decision dan Psikologi Abnormal, karena bagaimanapun alasannya, nyawa seseorang tidak mungkin disepelekan apalagi konsekuensi logis yang harusnya diterima terdakwa seakan melangkahi nurani keluarga korban.

Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana seandainya Konselor mendapatkan Klien dengan tipikal sama seperti Poddar dan Rian? Apa yang harus dilakukan oleh Konselor?. Pertanyaan inilah yang akan coba dijawab dalam tulisan ini. Mungkin pembatasan persoalannya adalah bagaimana cara konselor menyikapi tindakan dan atau niatan klien yang menjurus pada perbuatan kriminal, semisal terkejamnya adalah membunuh, membuka rahasia klien dan menyelamatkan nyawa orang lain atau menutupi rahasia, mana yang dipilih?. Walaupun memang idealnya karakteristik klien bagi konselor adalah individu yang tidak sampai sakit saraf, karena karakteristik seperti kesadaran, sikap, emosi dan intelektual hanya berputar pada ranah orientasi dan bimbingan. Namun klien yang datang dengan riwayat ‘normal’ bisa saja dalam indept interview ternyata memiliki beberapa kelainan. Jika sampai pada saat seperti itu kemudian ternyata sang klien mengungkapkan rahasia pribadi berupa rasa dendam yang amat sangat terhadap suatu sosok dan memiliki kecenderungan untuk dilaksanakan dalam bentuk yang brutal, apakah yang akan dilakukan konselor?, cukupkah untuk mengalihkan dan melepaskan perannya begitu saja dan merekomendasikannya kepada pihak ketiga?. 

Berdasarkan pada sejarah munculnya Tarasoff Decision, dapat dilihat bahkan untuk ahlinya saja (Psikolog_Psikiater) tetap terbuka celah yang besar dan kelalaian yang berakibat fatal. Kode etik memang memberikan ruang yang cukup jelas dalam memberikan arahan terhadap mekanisme kerja konselor. Seperti yang dikutip secara penuh dari Latipun (2006), (menurut, Redilick dan Pope, dalam Moursund, 1990), bahwa ada tujuh pokok kode etik professional___Konselor[2], yakni ;

  1.  Pekerjaan itu diatas segalanya dan tidak merugikan orang lain
  2.  Praktik profesi itu hanya dilakukan atas dasar kompetensi
  3. Tidak melakukan eksploitasi
  4. Memperlakukan seseorang dengan respek untuk martabatnya sebagai manusia
  5. Melindungi hal yang konfidensial
  6.  Tindakan, kecuali dalam keadaan yang sangat ekstrim, dilakukan hanya setelah mendapatkan izin
  7. Profesi praktik profesi, sejauh mungkin, dalam kerangka pekerjaan sosial dan keadilan


Sekarang mari diamati point ke 5 dari tujuh pokok kode etik konselor diatas, melindungi hal yang konfidensial, dan ditambah lagi oleh penjelasan dari Scheiders (Latipun, 2006, George dan Christiani, 1982), pada beberapa situasi konfidensialitas adalah bersifat relatif, yang semisal Konselor memiliki Klien semacam Poddar berarti Konselor dapat saja melaporkannya. Tapi bagaimana dengan hasil analisis yang dikemukan Stone (Jefrey S. Nevid, dkk, 2005, Stone 1979), yang menyatakan beberapa hal berikut ;

  1.  Klien menjadi kurang bersedia memberikan informasi mendalam terkait dirinya terhadap calon potensial kekerasan
  2. Calon Klien akan menghindari Proses psikater (dalam hal ini Konseling)
  3. Terapis (dalam hal ini konselor) menjadi ragu2 untuk melakukan wawancara yang setidaknya bisa membuka rahasia mengenai tendensi tertentu yang berbahaya, karena takut dengan komplikasi hukumnya.


Menimbang analisis Stone diatas, memang sedikit dilemma menghinggapi Konselor, tarik ulur antara Konfidensialitas dan Tarasoff Decision. Disatu sisi Tarasoff Decision membantu atau bahkan mempermudah Konselor dalam melihat persoalan tapi disisi lain malah membuka ruang calon klien untuk mengurungkan niat untuk diskusi karena takut akan dicurigai bahkan ditahan atas tuduhan yang belum dilakukan. Akhirnya memang tidak bisa tidak perlu ada pertimbangan Etika dan Moral terhadap hal ini. Kode etik yang menjelaskan masalah Konfidensialitas juga perlu untuk dipertimbangkan dengan Etika dan Moral sebagai bagian juga dari sistem kode etik manusia.

Secara pribadi penulis memang belum mengetahui mengenai bagaimana dampak dari penerapan Tarasoff Decision atau bahkan mungkin Tarasoff Decision apakah telah diimplementasikan di Indonesia atau belum, tidak juga diketahui, dimana diketahui baru pada beberapa Negara di Benua Amerika yang menerapkan Tarasoff Decision ini sesuai dengan variasinya masing-masing. Namun dengan melihat pada bagian lainnya, berdasarkan pada hasil dari seminar mengenai Etika Profesi Psikolog 15 agustus tahun 2009 oleh Ketua Bagan Psikologi Klinis, H. Hatta Albanik, bahwa Kode etik harus benar-benar dipahami secara integral dan menyatu dengan hukum yang berlaku, hal ini untuk mencegah terjadinya masalah pada diri pribadi Psikolog, kemudian juga ketika menyinggung pada persoalan konfidensialitas, beliau mengungkapkan bahwa konfidensialitas harus terjaga dan hanya boleh dimanfaatkan oleh konsumen sendiri (Klien), akan tetapi dengan tegas juga beliau tuliskan juga bahwa kode etik adalah rule of conduct, yang fungsinya adalah untuk menyelenggarakan proses keprofesionalitas agar berguna bagi masyarakat[3].

Berarti memang pada beberapa sisi walaupun terdapat beberapa hal yang prinsipal dalam Kode Etik semisal Konfidensialitas, akan tetapi itu bukanlah tujuan. Jadi meskipun harus seakan berlawan atau berbenturan dengan kode etik tidak terlalu dipersoalkan selama Kebaikan bersama bisa diupayakan. Maka sekarang, bagi Konselor tidaklah perlu untuk terlalu khawatir didalam melakukan wawancara yang berpotensi terungkapnya tendensi buruk Klien, dan tidak perlu juga khawatir dengan komplikasi hukumnya, selama masih berpegang pada kode etik dan mengacu pada Tarasoff Decision. Jadi semisal Konselor mendapati Klien seperti Poddar atau Rian, cukuplah dengan mempertimbangkan Tarasoff Decision dan lihatlah hukum[4] yang membantu Konselor serta juga manfaatkanlah Asas pelimpahan wewenang, (misalkan untuk meyakinkan bahwa Klien memang mengidap tendensi buruk terhadap calon potensial, bisa memanfaat psikolog atau terapis untuk membantu mendalaminya) hal ini untuk mencegah terjadinya prasangka, selain itu juga untuk memperoleh bukti yang kuat terhadap ‘duduk perkara’.

Demikian, Wallahu a’lam bishshawaab,
Al-Fakir Illa Allah, Nashrun Min Allah Wa Fathun Qorib


RUJUKAN

·         Bimo Walgito, 2010, Bimbingan Konseling (Studi & Karir), Yogyakarta, Penerbit Andi
·         H. Hatta Albanik, (Online), p. 7-10, http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/08/etika_profesi_psikologi_indonesia.pdf , (diakses 6 oktober 2011)
·         Jefrey. S. Nevid, dkk, 2005, Psikologi Abnormal, Jilid II, Erlangga
·         Latipun, 2006, Psikologi Konseling, Ed III, Malang, UMM Press, p. 250


[1] Jefrey. S. Nevid, dkk, 2005, Psikologi Abnormal, Jilid II, Erlangga, p. 244-245

[2] Latipun, 2006, Psikologi Konseling, Ed III, Malang, UMM Press, p. 250
[3] H. Hatta Albanik, (Online), p. 7-10, http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/08/etika_profesi_psikologi_indonesia.pdf , (diakses 6 oktober 2011)
[4] Hukum bisa secara formil (misalkan UU tentang HAM) dan materil (berdasarkan pada keputusan nasional dan internasional semisal APA)

Read more »

UIN SUNAN KALIJAGA KUKUHKAN EMPAT GURU BESAR


UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta akan mengukuhkan empat Guru Besar, Kamis, 10 November 2011. Keempat Guru Besar akan dikukuhkan oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. H. Musa Asy’arie, di Gedung Konvention Hall kampus setempat.  Mereka yang dikukuhkan antara lain : Prof. Dr. H. Sutrisno, M. Ag., (Guru Besar bidang Pendidikan Islam) pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Akan membacakan pidato pengukuhan berjudul  “Pendidikan (Agama) Islam Berorientasi Pada Problem Subyek Didik”. Prof. Dr. H. Fauzan Naif, MA., (Guru Besar Bidang Tafsir Hadis) pada Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam. Akan membacakan pidato Pengukuhan berjudul “Menelusuri Jejak Langkah Ibn. ‘Arabi di Tanah Jawa –Kulu Sein Wajehahu (Telaah Atas Serat Centhini). “ Prof. Dr. H. Susiknan Azhari, Guru Besar bidang Ilmu Falak pada Fakultas Syari’ah dan Hukum. Akan membacakan pidato pengukuhan berjudul “Menyatukan Kalender Islam (Satukan Semangat Membangun Kebersamaan Umat). Prof. Dr. H. Hamruni, M. Si., (Guru Besar Bidang Metodologi Pendidikan Islam) pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Akan membacakan pidato pengukuhan berjudul “ Penguatan Nilai-Nilai Humanisme-Spiritual-Etik dalam pendidikan.
( Humas )



Sumber : UIN SUKA Online, Selasa, 08 November 2011 14:45 WIB

Read more »

Intelektual, harus cinta buku dan perpustakaan

berikut beberapa foto yang bisa dilihat bagaimana seharusnya intelektual mendesain rencananya dengan perpustakaan.








*(foto dari pelbagai sumber)

Read more »

What is Liberal Education?





Liberal Education is an approach to learning that empowers individuals and prepares them to deal with complexity, diversity, and change. It provides students with broad knowledge of the wider world (e.g. science, culture, and society) as well as in-depth study in a specific area of interest. A liberal education helps students develop a sense of social responsibility, as well as strong and transferable intellectual and practical skills such as communication, analytical and problem-solving skills, and a demonstrated ability to apply knowledge and skills in real-world settings.

The broad goals of liberal education have been enduring even as the courses and requirements that comprise a liberal education have changed over the years. Today, a liberal education usually includes a general education curriculum that provides broad learning in multiple disciplines and ways of knowing, along with more in-depth study in a major.

Read more »

Revolusi Arab dalam Sorotan (I)

Oleh : Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif


Beberapa minggu yang lalu, saya mendapat kiriman majalah kultural Fikrun wa Fann, No 95 tahun 2011 dari Yayasan Goethe-Institute, Köln, Jerman, yang terbit dua kali dalam setahun, edisi bahasa Inggris, Arab, dan Persi. Saya menerima edisi bahasa Inggris. Artikel-artikel dalam nomor ini mengu pas sekitar kejadian revolusioner di berbagai negara Arab yang semula dipicu oleh tragedi Tunisia Desember 2010.

Di luar dugaan banyak pengamat Barat, revolusi ini ternyata sekaligus mencerminkan kebangkitan rakyat di kawasan itu melawan rezim-rezim otoritarian Arab yang selama ini mendapat dukungan Barat, khususnya Amerika Serikat. Sekarang setelah kekuatan rakyat itu tidak bisa dibendung lagi, Barat dengan cepat berganti haluan: mendukung kekuatan revolusioner.

Sikap yang serbaganda ini telah menempatkan Barat hampir di seantero dunia Arab saat ini pada posisi ‘tak dapat dipercaya’, sesuatu yang sebenarnya telah lama mestinya terjadi. Tetapi, karena rezim-rezim diktator itu lebih banyak memikirkan diri sendiri, bukan rakyatnya, dan dengan bantuan serta perlindungan Barat, rentangan kekuasaan mereka dapat bertahan lama sampai meledaknya revolusi dahsyat itu sejak awal 2011.

Karena majalah ini semula direncanakan untuk mengupas dampak Tragedi 9/11 atas dunia Arab, dengan meledaknya revolusi rakyat, fokus analisisnya menjadi dua sasaran: pertama, dampak tragedi itu selama 10 tahun terakhir. Kedua, sorotan terhadap revolusi Arab yang kini tengah berlangsung secara meluas. Sebuah revolusi yang berasal dari kekuatan akar rumput, bukan revolusi yang digerakkan dari atas.

Fenomena inilah yang membedakan revolusi Arab dengan kebanyakan revolusi yang pernah dikenal sejarah peradaban manusia. Bagaimana ujungnya nanti, kita belum bisa memastikannya sekarang. Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Arab tampaknya hanya berperan secara tidak langsung dalam bentuk doktrinnya tentang keadilan, antikezaliman, dan ajaran persamaan tentang manusia di depan Tuhan dan sejarah.

Sudah tiga pemimpin puncak Arab itu terguling: Tunisia, Mesir, dan Libya. Yang lain tampaknya akan menyusul: Suriah, Yaman, Bahrain, dan mungkin dalam jangka panjang Arab Saudi, Moroko, Kuwait, dan Qatar. Semua rezim ini pada dasarnya adalah rezim korup, arogan, dan “semau gue”. Rakyat ditempatkan pada posisi “taat” kepada penguasa dengan legitimasi dalil-dalil keagamaan.

Revolusi panjang yang paling berdarah berlaku di Libya, sampai pada 20 Oktober 2011 Muamar Qadafi terbunuh di kawasan kelahirannya, Sirte. Peran NATO (Organisasi Pertahanan Atlantik Utara) untuk melumpuhkan Qadafi ini cukup penting, karena tanpa itu semua, akan sulit bagi pihak oposisi meraih kemenangan.

Dalam politik, tidak ada yang gratis. Kita bisa membayangkan peran Barat selanjutnya di Libya, khususnya dalam masalah minyak, sebab penguasa baru pasti merasa berutang budi kepada NATO yang telah berhasil melumpuhkan rezim Qadafi dengan dibantu oleh serangan udara. Sebagai seorang Muslim, kita tentu selalu berharap agar rezim-rezim pengganti ini tidak lupa kepada cita-cita revolusioner mereka untuk berpihak kepada rakyat dan keadilan, yang sebelumnya hampir absen selama sekian puluh tahun.

Bagi Barat, sebenarnya tidak penting pergantian rezim-rezim ini, sebagaimana yang terlihat selama ini. Selama rezim-rezim itu siap menjaga kepentingan Barat, tidak peduli apakah diktator, demokratik, atau campuran dari keduanya, pasti akan didukung. Slogan demokrasi dan hak-hak asasi manusia yang dikibarkan Barat selama ini tidak lain adalah topeng untuk mengelabui mangsanya.

Tetapi ironisnya, masih saja sebagian dunia Islam percaya kepada slogan-slogan itu. Bukankah watak imperialisme atau neoimperia lisme mereka dalam berbagai selubung tidak pernah dikubur? Masalahnya kemudian adalah karena elite Arab atau elite bangsa-bangsa Muslim lainnya masih berada di simpang jalan dalam menentukan sistem politiknya, sementara rakyatnya sudah muak dengan segala macam cara pembunuhan hak-haknya sebagai warga negara sekian lama. Bahkan, di kalangan kecil elite umat Islam berbicara tentang demokrasi saja masih tabu, bahkan ada yang menyebutnya sebagai sistem kafir.

Sekarang kita kembali merujuk kepada majalah Fikrun wa Fann. Pemimpin redaksinya adalah Stefen Weidner yang dalam tajuknya menulis: “Saat kami merencanakan edisi Fikrun wa Fann November tahun silam dan memutuskan bahwa topiknya adalah ’10 Tahun Pasca-9/11’, tak seorang pun dari kami bermimpi bahwa setengah tahun berjalan, dunia Arab akan mene mukan dirinya dalam suasana pergolakan yang radikal. Begitu lama dunia Arab dalam kemacetan, yang demikian aman berada di bawah aparatur negara yang menindas, dan perubahan di akar rumput kelihatannya sebagai sebuah ketidakmungkinan.”

Read more »

Komentar