Oleh : Prof. Dr. H. Azyumardi Azra
Profesor DR Haji Abdul Malik Karim Amrullah-dikenal akrab
sebagai Buya Hamka (17/2/1908-24/7/1981)-agaknya bagi sebagian kalangan tidak
begitu dikenal sebagai pejuang. Buya Hamka lebih dikenal sebagai sastrawan dan
ulama, bukan sebagai pejuang bangsa. Akibatnya, Buya Hamka terlambat menerima
gelar Pahlawan Nasional dari pemerintah RI. Baru menjelang Hari Pahlawan 10
November 2011 akhirnya ia mendapatkan penghargaan yang long overdue tersebut.
Meski demikian, rasa syukur patut diungkapkan atas penghargaan negara atas
jasa-jasanya yang begitu lengkap dan kompleks dalam kehidupan umat bangsa
Indonesia. Buya Hamka yang otodidak bergerak dalam berbagai lapangan kehidupan
sejak dari kesusastraan, pendidikan, dakwah, politik, dan perjuangan melawan
kebatilan kolonialisme pra dan pasca kemerdekaan, termasuk perjuangan
menegakkan kebenaran pada masa Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto.
Like father like son
Baik dalam hal keulamaan maupun kejuangan, Buya Hamka banyak mengikuti ayahnya,
Haji Abdul Karim Amrullah (10/2/1879-2/6/1945) atau Haji Rasul yang terkenal
sebagai salah satu tokoh gerakan modernisme Islam pada dasawarsa awal abad
ke-20. Selain terkenal sebagai ulama yang juga memiliki jaringan keilmuan dan
aktivisme dengan ulama dan tokoh pergerakan nasional lain semacam HOS
Tjokroaminoto dan KH Ahmad Dahlan, Haji Rasul termasuk ulama yang paling keras
menentang Belanda dengan berbagai ketetapannya semacam 'Ordonansi Sekolah Liar'
dan 'Ordonansi Guru'.
Karena itu, pada 12 Januari 1941 ia dijebloskan Belanda ke dalam penjara
Bukittinggi dan Agustus 1941 ia dibuang ke Sukabumi. Selanjutnya, pada masa
Jepang, Haji Rasul menolak melakukan 'seikerei', membungkukkan badan pada pagi
hari ke arah matahari terbit (Jepang) untuk menghormati Kaisar Tenno Heika.
Seperti ayahnya, begitu jugalah sang anak (like father like son). Di tengah
keterlibatannya yang intens dalam dunia kesusastraan, keilmuan dan keulamaan,
Hamka juga mewujudkan aktivisme politik dan kejuangannya. Dan, ini bermula
dengan keterlibatannya di Padangpanjang sejak 1925 dalam Sarekat Islam. Seperti
dicatat Federspiel (2009), Hamka menceburkan diri ke dalam SI tidak lain karena
ia melihat SI sebagai kekuatan sosial-keagamaan Islam yang tangguh menghadapi
kolonialisme Belanda. Meski demikian, tidak banyak informasi tentang kiprah
Hamka dalam SI.
Hamka yang sejak selesai bertugas sebagai Konsul Muhammadiyah di Makassar
pindah ke Medan (1936) juga aktif dalam perjuangan melawan Belanda yang
terbukti sedang menghadapi tahun-tahun akhir menguasai Indonesia. Dalam
bukunya, Kenang-Kenangan Hidup (Jilid 4), Hamka menceritakan tentang kiprahnya
pada masa ini, termasuk bergerilya di hutan sekitar Medan. Karena kegiatannya
melawan Belanda ini, ia akhirnya merasa harus kembali ke Sumatra Barat pada
1945, sebab ia merasa lebih aman. Dan, di kampung halamannya, ia menjadi
penghubung krusial di antara kaum ulama dan kelompok-kelompok pejuang lainnya.
Kiprah Hamka dalam perjuangan nasional sepanjang 1945-1949 kian meningkat
berbarengan dengan terjadinya perang revolusi menentang kembalinya Belanda yang
terus kian merebak di seluruh Tanah Air. Pada 1947, Hamka diangkat menjadi
ketua Barisan Pertahanan Nasional dengan anggota Chatib Sulaeman, Udin,
Rangkayo Rasuna Said, dan Karim Halim.
Selain itu, Hamka juga diangkat Wakil Presiden Mohammad Hatta sebagai
sekretaris Front Pertahanan Nasional yang merupakan gabungan dari berbagai
partai politik. Ketua front ini adalah Bung Hatta sendiri. Selanjutnya, Hamka
membentuk Badan Pembela Negara dan Kota (BPNK) yang merupakan barisan perlawanan
gerilya terbesar di wilayah Sumatra Barat. Hamka sendiri sangat aktif
bergerilya dan hampir tidak pernah bisa ditemui di satu tempat tetap.
Mengapa Hamka begitu aktif dalam perjuangan kemerdekaan? Ini tidak lain
berdasarkan pada prinsip pokok yang dia pegang. Hamka sangat meyakini bahwa
kemerdekaan bangsa sangat mutlak dalam mewujudkan dan meninggikan kemerdekaan
diri (self-independence), yang merupakan keutamaan dan kebajikan pokok bagi
setiap Muslim-Muslimah. Kemerdekaan diri ini mestilah bersumber dari tauhid.
Dan, sebaliknya, bagi Hamka, kemerdekaan bangsa bisa terwujud jika umat Islam
memiliki kemerdekaan diri atas dasar tauhid tersebut. Dan, tanpa itu
kemerdekaan bangsa akhir dapat hancur berkeping-keping.
Perjuangan dengan integritas
Aktivisme kejuangan Hamka dalam kancah nasional berlanjut ketika dia dalam
Pemilu 1955 terpilih lewat Partai Masyumi sebagai anggota konstituante. Dan,
lewat konstituante, Masyumi berjuang untuk menjadikan Indonesia sebagai negara
Islam, yang terbukti gagal. Meski Hamka semula mendukung gagasan dan perjuangan
untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, ia legowo dan selanjutnya
menerima Pancasila sebagai dasar negara dan demokrasi sebagai sistem politik.
Tetapi, Hamka segera bersimpang jalan dengan Presiden Soekarno. Pertama, karena
kian dominannya PKI. Dan, kedua, karena terus meningkatnya otoritarisme
Soekarno. Ujungnya, pada 27 Agustus 1964 Hamka ditangkap dan dipenjarakan
dengan tuduhan melakukan kegiatan subversi melawan rezim Soekarno. Pada saat
yang sama, Majalah Panji Masyarakat yang dipimpinnya diberedel karena memuat
artikel panjang Mohammad Hatta, "Demokrasi Kita", yang kritis
terhadap demokrasi terpimpin ala Soekarno.
Hamka adalah pejuang dengan integritas. Dengan integritas, ia berani menyampaikan
pesan kebenaran kepada penguasa-apa pun biaya yang kemudian harus ia bayar.
Dan, dengan integritasnya itu pula ia menunjukkan bahwa sebagai ulama ia tidak
dapat 'dibeli'-apalagi digertak.
Ini terlihat dalam pengalaman hidup Hamka pascakeluar dari tahanan seusai
pergantian kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Hamka tidak lagi melibatkan
diri dalam politik. Sebaliknya, menghabiskan waktunya dalam aktivisme dakwah,
pendidikan, dan kepengarangan. Tetapi, pada 1975, ia menerima permintaan dari
Presiden Soeharto untuk menjadi ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dan,
pada saat yang sama ia menolak menerima fasilitas dari pemerintah atas
posisinya tersebut.
Adalah integritas diri yang membuat Hamka tidak bisa bertahan terlalu lama
sebagai ketua umum MUI. 'Fatwa Natal' yang dikeluarkan MUI pada 7 Maret 1981
yang mengharamkan umat Islam ikut serta dalam 'Natal bersama' tidak disukai
pemerintah karena dianggap dapat mengganggu kerukunan antarumat beragama. Buya
Hamka menolak keinginan pemerintah-yang diwakili Menteri Agama Alamsjah Ratu
Prawiranegara-untuk mencabut fatwa tersebut. Lalu, Hamka memilih mundur dari
MUI daripada mengorbankan integritas keulamaannya.