Terima Kasih Atas Kunjungannya Ash-Shiddiq Community

Search

Minggu, 04 Desember 2011

Pemerintah Kucurkan Beasiswa bagi Fakultas dan Prodi Sepi Peminat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pemerintah memberikan beasiswa bagi mahasiswa yanhg mengambil program studi (prodi) dan fakultas yang sepi peminat. Demikian disampaikan Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Wamendiknas) Fasli Jalal di Jakarta, Senin (19/7), usai Nonton Bersama Anak Panti Asuhan .

Beasiswa diberikan melalui program Bidik Misi. Tanggung jawab pembagiannya langsung ke-104 universitas yang ada di naungan Kemendiknas dan Kementerian Agama (Kemenag).

Beberapa prodi yang sepi peminat antara lain Bahasa Daerah dan Ilmu Perbintangan dan Antropologi. Beasiswa diberikan ke prodi nonfavorit ini karena lulusan program studi ini masih dibutuhkan oleh negara. ''Kami akan jemput bola, merayu mereka dengan beasiswa agar mau masuk program studi tersebut,'' jelas Fasli.

Beasiswa yang diberikan oleh Bidik Misi ini ialah untuk biaya hidup sebesar Rp 500 ribu sampai dengan Rp 700 ribu per bulan serta bantuan biaya pendidikan sebesar Rp 800 ribu hingga Rp 2 juta per semester. 

Jika biaya pendidikan di suatu perguruan tinggi terpilih ternyata lebih tinggi dari dana yang tersedia, maka perguruan tinggi terpilih tersebut wajib memberikan bantuan biaya pendidikan sepenuhnya kepada penerima beasiswa. Beasiswa diberikan sejak calon mahasiswa dinyatakan diterima di perguruan tinggi selama  delapan semester untuk program Diploma IV dan S1, dan selama enam semester untuk program Diploma III dengan ketentuan penerima beasiswa berstatus mahasiswa aktif.

Fasli mengklarifikasi, adanya prodi yang sepi peminat itu bukan hanya karena jarangnya calon mahasiswa yang mendaftar, akan tetapi bisa saja karena ada sejumlah peminat, namun kuotanya tidak cukup. Alasan lain bisa juga dengan peminat banyak namun yang lulus dari Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tidak banyak. “Mungkin juga karena ada yang sudah diterima di SNMPTN namun pindah ke universitas yang lebih baik,” jelasnya.

Sementara itu, Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendiknas Djoko Santoso menambahkan, universitas harus meningkatkan kualitas agar tidak ada prodi yang sepi peminat. Jika calon mahasiswa melihat kualitas prodi itu bagus, maka mereka tidak akan segan mendaftar dan menempuh pendidikan di prodi nonfavorit tersebut.

Jika bangku kosong karena sepi peminat, jelas Djoko, maka universitas bisa saja mengadakan penerimaan mahasiswa lagi agar kuota terpenuhi. Sistem penerimaannya tanpa ada campur tangan dari Kemendiknas melainkan diserahkan sendiri ke masing-masing kampus.

Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia (FRI) Edy Suwandi Hamid setuju dengan pemberian beasiswa yang diutarakan Fasli yang juga pernah menjabat sebagai Dirjen Dikti itu. Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) itu berharap, dengan diberikannya beasiswa dapat menarik mahasiswa untuk mempelajari prodi tersebut.

Edy menjelaskan, prodi yang sepi peminat itu ada di jurusan Biologi atau Pertanian. Sepi peminat ini, kata dia, yang menyebabkan banyaknya bangku kosong di SNMPTN. ''Harus ada evaluasi baik dengan SNMPTN dan program studi yang sepi peminat,'' tegasnya. 

Diketahui, bangku kosong di SNMPTN tahun ini mencapai 954 kursi. Eddy yang juga Ketua Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta (BK PTIS) ini menilai banyaknya prodi yang belum terisi mahasiswa itu tidak hanya menjadi tangung jawab universitas, namun juga Kemendiknas yang harus bersama dengan rektor untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi semua prodi.


Sumber : http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/berita/10/07/20/125542-pemerintah-kucurkan-beasiswa-bagi-fakultas-dan-prodi-sepi-peminat

Read more »

Pakar: Saatnya Prodi Pendidikan Luar Sekolah Dibuka Kembali


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pakar pendidikan Prof Dr M Yusuf Aziz, MPd menilai, program studi (prodi) pendidikan luar sekolah yang telah di passing out perlu dibuka kembali. Kebutuhan akan tenaga pendidik dan pengelola lembaga PAUD diperkirakan akan mengalami peningkatan menyusul langkah Kementrian Pendidikan Nasional menjadi PAUD sebagai program prioritas tahun 2011. 

''Pembukaan program studi pendidikan luar sekolah akan mendukung penyediaan sumber daya manusia yang akan menjadi tenaga pendidik dan pengelola lembaga pendidikan anak usia dini,'' kata Yusuf Aziz. Perguruan tinggi yang melakukan passing out program studi pendidikan luar sekolah, antara lain Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Lembaga PAUD umumnya dikelola oleh masyarakat dan pihak swasta. Memperhatikan posisi strategis anak usia dini, Aziz mengingatkan bahwa pendidikan anak usia dini harus dilakukan oleh tenaga profesional. Yusuf mengemukakan terdapat jalur pendidikan formal maupun informal untuk anak usia dini. Untuk pendidikan formal antara lain Taman Kanak-kanak, Raudhatul Athfal atau yang sederajat. Sementara PAUD untuk jalur nonformal antara lain berupa kelompok bermain, taman penitipan anak atau bentuk lain sederajat. ''Pada jalur informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggaraka n oleh lingkungan,'' kata Yusuf

Selain mengusulkan kembali pembukaan program studi pendidikan luar sekolah, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syah Kuala ini  juga mengingatkan perlunya akreditasi terhadap lembaga PAUD. Disisi lain, untuk penjaminan mutu program, diperlukan standar dan indikator-indikator yang jelas.

PAUD memang menjadi perhatian khusus pemerintah. Tahun 2014, kata Yusuf, pemerintah mematok target angka partisipasi kasar  72,6 persen. Maksudnya, dari seluruh anak usia dini yang ada diharapkan sekitar 21,3 juta telah menikmati pendidikan melalui lembaga pendidikan anak usia dini. Hingga tahun 2009, APK PAUD telah mencapai 15,3 juta vatau 53,6 persen.

Pertumbuhan APK PAUD yang belum setinggi APK pendidikan formal disebut Yusuf antara lain dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu diantaranya adalah komitmen pemerintah daerah. Ia menilai program dan kebijakan mengenai PAUD, ternyata tidak didukung dengan komitmen anggaran. ''Akibatnya, sarana dan prasarana pendukung yang diperlukan untuk perluasan akses maupun kulitas masih sangat terbatas,'' kata Yusuf.

Belum adanya komitmen anggaran juga menyebabkan kurikulum standar dan indikator program yang diperlukan belum tersedia. ''Akibatnya, masing-masing penyelenggara berjalan sendiri-sendiri,'' kata Yusuf. Selanjutnya data skunder mengenai PAUD sendiri masih sulit didapatkan, sehingga menjadi kendala dalam penyusunan perencanaan.

Dalam pengamatan Yusuf Aziz, terdapat banyak kendala dalam pengembangan PAUD. Hal ini masih diperberat oleh rendahnya kesadaran orang tua dalam memberikan pelayanan terbaik pada anak usia dini. ''Banyak orang tua yang berpendidikan lebih memadai belum menyadari sepenuhnya betapa pentingnya pendidikan dan pembinaan anak pada usia dini. Akibatnya banyak anak pada usia emas tidak mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya, sehingga masa usia emas berlalu begitu saja,'' kata Yusuf.

Read more »

Inilah Penyebab Mengapa Pelajar Kesulitan Memilih Program Studi

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK – Selepas menyelesaikan pendidikan menengah atau sederajat, seharusnya pelajar dapat menentukan pendidikan lanjutan yang diminati. Namun, tidak jarang masih ditemukan pelajar yang kesulitan memutuskan jurusan atau program studi apa yang hendak diambil.

Psikolog Pendidikan, Elok Dianike M.Mpsi, menuturkan situasi itu termasuk wajar dialami para pelajar. Sebab, dari segi usia mereka tengah mengalami tahapan psikologis berupa pencarian jati diri. 

"Jadi tak heran bila minat mereka berubah seiring dengan dinamisasi perkembangan psikologisnya. Contoh saja, teman-teman minat dengan kedokteran, maka ia pun minat. Tak lama, niatan itu surut karena ada jurusan lain yang menarik minatnya," kata dia saat berbincang dengan Republika Online, Sabtu (3/12).

Selain perkembangan psikologis, lanjut Elok, sistem pendidikan di Indonesia hanya memprioritaskan mengejar prestasi akademis dengan memberikan kurikulum yang padat. Namun, sistem pendidikan tidak menopang minat dan pengenalan karir yang dibutuhkan pelajar. "Dua hal ini masih jarang diterapkan. Kalaupun ada hanya bersifat umum saja," kata dia.

Alasan lain, ada semacam stereotipe yang terbentuk dari orang tua dan lingkungan terhadap program studi. Akibatnya, pilihan anak menjadi terbatas, dan akhirnya memilih apa yang disukai lingkungan bukan dirinya. "Padahal, semua jurusan atau program studi itu sama," jelas Elok.

Dalam kasus poin ketiga, ungkap Elok, akan memberikan pengaruh bagaimana "rasa semangat" anak dalam menekuni pelajarannya. "Memang berhasil atau berprestasi, tapi ada perbedaan saat ia bekerja. Semangatnya itu tidak ada," ujarnya.

Untuk itu, Elok menyarankan agar para pelajar menggali potensi minat semaksimal mungkin bisa melalui diskusi, informasi dunia maya dan buku. "Harapannya, pelajar tak lagi bingung menentukan pilihan. Mereka akan yakin dengan pilihannya, melaksanakan sepenuh hati dan akhirnya berprestasi," pungkasnya. 

Read more »

Allah sebagai Pelindung

Oleh : Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc, M.Ag


Setelah Pemilihan Umum Pertama (1955), Hamka terpilih menjadi anggota Dewan Konstituante dari Masyumi mewakili Jawa Tengah. Setelah Konstituante dan Masyumi dibubarkan, Hamka memusatkan kegiatannya pada dakwah Islamiah dan memimpin jamaah Masjid Agung Al-Azhar, di samping tetap aktif di Muhammadiyah. Dari ceramah-ceramah di Masjid Agung itu lah lahir sebagian dari karya monumental Hamka, Tafsir Al-Azhar.

Zaman demokrasi terpimpin, Hamka pernah ditahan dengan tuduhan melanggar Penpres Anti-Subversif. Dia berada di tahanan Orde Lama itu selama dua tahun (1964-1966). Dalam tahanan itulah Hamka menyelesaikan penulisan Tafsir Al-Azhar.

Waktu menulis Tafsir Al-Azhar, Hamka memasukkan beberapa pengalamannya saat berada di tahanan. Salah satunya berhubungan de ngan ayat 36 Surah az-Zumar, “Bukan kah Allah cukup sebagai Pelindung hamba-Nya...”. Pangkal ayat ini menjadi perisai bagi hamba Allah yang beriman dan Allah jadi pelindung sejati.

Sehubungan dengan maksud ayat di atas, Hamka menceritakan pengalaman beliau dalam tahanan di Sukabumi, akhir Maret 1964. Berikut kutipan lengkapnya. “Inspektur polisi yang memeriksa sambil memaksa agar saya mengakui suatu kesalahan yang difitnahkan ke atas diri, padahal saya tidak pernah berbuatnya. Inspektur itu masuk kembali ke dalam bilik tahanan saya membawa sebuah bungkusan, yang saya pandang sepintas lalu saya menyangka bahwa itu adalah sebuah tape recorder buat menyadap pengakuan saya.”

“Dia masuk dengan muka garang sebagai kebiasaan selama ini. Dan, saya menunggu dengan penuh tawakal kepada Tuhan dan memohon kekuatan kepada-Nya semata-mata. Setelah mata yang garang itu melihat saya dan saya sambut dengan sikap tenang pula, tiba-tiba kegarangan itu mulai menurun.”

“Setelah menanyakan apakah saya sudah makan malam, apakah saya sudah sembahyang, dan pertanyaan lain tentang penyelenggaraan makan minum saya, tiba-tiba dilihatnya arlojinya dan dia berkata, Biar besok saja dilanjutkan pertanyaan. Saudara istirahatlah dahulu malam ini, ujarnya dan dia pun keluar membawa bungkusan itu kembali.

Setelah dia agak jauh, masuklah polisi muda (agen polisi) yang ditugaskan menjaga saya, yang usianya baru kira-kira 25 tahun. Dia melihat terlebih dahulu kiri kanan. Setelah jelas tidak ada orang yang melihat, dia bersalam dengan saya sambil menangis, diciumnya tangan saya, lalu dia berkata, Alhamdulillah bapak selamat! Alhamdulillah! Mengapa, tanya saya. Bungkusan yang dibawa oleh Inspektur M itu adalah setrum. Kalau dikontakkan ke badan bapak, bapak bisa pingsan dan kalau sampai maksimum bisa mati.

Demikian jawaban polisi muda yang ditugaskan menjaga saya itu dengan berlinang air mata. Bapak sangka tape recorder, jawabku sedikit tersirap, tetapi saya bertambah ingat kepada Tu han. Moga-moga Allah memelihara diri Bapak. Ah! Bapak orang baik, kata anak itu.

Dalam menghadapi paksaan, hinaan, dan hardikan di dalam tahanan, Hamka selalu berserah diri kepada Allah SWT. Termasuk ketika Inspektur M datang membawa bungkusan malam itu, Hamka tetap dengan pendirian. Bukankah Allah cukup sebagai pelindung hamba-Nya.

Read more »

Selasa, 22 November 2011

Buya Hamka, Pahlawan Berintegritas

Oleh : Prof. Dr. H. Azyumardi Azra

Profesor DR Haji Abdul Malik Karim Amrullah-dikenal akrab sebagai Buya Hamka (17/2/1908-24/7/1981)-agaknya bagi sebagian kalangan tidak begitu dikenal sebagai pejuang. Buya Hamka lebih dikenal sebagai sastrawan dan ulama, bukan sebagai pejuang bangsa. Akibatnya, Buya Hamka terlambat menerima gelar Pahlawan Nasional dari pemerintah RI. Baru menjelang Hari Pahlawan 10 November 2011 akhirnya ia mendapatkan penghargaan yang long overdue tersebut.

Meski demikian, rasa syukur patut diungkapkan atas penghargaan negara atas jasa-jasanya yang begitu lengkap dan kompleks dalam kehidupan umat bangsa Indonesia. Buya Hamka yang otodidak bergerak dalam berbagai lapangan kehidupan sejak dari kesusastraan, pendidikan, dakwah, politik, dan perjuangan melawan kebatilan kolonialisme pra dan pasca kemerdekaan, termasuk perjuangan menegakkan kebenaran pada masa Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto.

Like father like son
Baik dalam hal keulamaan maupun kejuangan, Buya Hamka banyak mengikuti ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah (10/2/1879-2/6/1945) atau Haji Rasul yang terkenal sebagai salah satu tokoh gerakan modernisme Islam pada dasawarsa awal abad ke-20. Selain terkenal sebagai ulama yang juga memiliki jaringan keilmuan dan aktivisme dengan ulama dan tokoh pergerakan nasional lain semacam HOS Tjokroaminoto dan KH Ahmad Dahlan, Haji Rasul termasuk ulama yang paling keras menentang Belanda dengan berbagai ketetapannya semacam 'Ordonansi Sekolah Liar' dan 'Ordonansi Guru'.

Karena itu, pada 12 Januari 1941 ia dijebloskan Belanda ke dalam penjara Bukittinggi dan Agustus 1941 ia dibuang ke Sukabumi. Selanjutnya, pada masa Jepang, Haji Rasul menolak melakukan 'seikerei', membungkukkan badan pada pagi hari ke arah matahari terbit (Jepang) untuk menghormati Kaisar Tenno Heika.

Seperti ayahnya, begitu jugalah sang anak (like father like son). Di tengah keterlibatannya yang intens dalam dunia kesusastraan, keilmuan dan keulamaan, Hamka juga mewujudkan aktivisme politik dan kejuangannya. Dan, ini bermula dengan keterlibatannya di Padangpanjang sejak 1925 dalam Sarekat Islam. Seperti dicatat Federspiel (2009), Hamka menceburkan diri ke dalam SI tidak lain karena ia melihat SI sebagai kekuatan sosial-keagamaan Islam yang tangguh menghadapi kolonialisme Belanda. Meski demikian, tidak banyak informasi tentang kiprah Hamka dalam SI.

Hamka yang sejak selesai bertugas sebagai Konsul Muhammadiyah di Makassar pindah ke Medan (1936) juga aktif dalam perjuangan melawan Belanda yang terbukti sedang menghadapi tahun-tahun akhir menguasai Indonesia. Dalam bukunya, Kenang-Kenangan Hidup (Jilid 4), Hamka menceritakan tentang kiprahnya pada masa ini, termasuk bergerilya di hutan sekitar Medan. Karena kegiatannya melawan Belanda ini, ia akhirnya merasa harus kembali ke Sumatra Barat pada 1945, sebab ia merasa lebih aman. Dan, di kampung halamannya, ia menjadi penghubung krusial di antara kaum ulama dan kelompok-kelompok pejuang lainnya.

Kiprah Hamka dalam perjuangan nasional sepanjang 1945-1949 kian meningkat berbarengan dengan terjadinya perang revolusi menentang kembalinya Belanda yang terus kian merebak di seluruh Tanah Air. Pada 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional dengan anggota Chatib Sulaeman, Udin, Rangkayo Rasuna Said, dan Karim Halim.

Selain itu, Hamka juga diangkat Wakil Presiden Mohammad Hatta sebagai sekretaris Front Pertahanan Nasional yang merupakan gabungan dari berbagai partai politik. Ketua front ini adalah Bung Hatta sendiri. Selanjutnya, Hamka membentuk Badan Pembela Negara dan Kota (BPNK) yang merupakan barisan perlawanan gerilya terbesar di wilayah Sumatra Barat. Hamka sendiri sangat aktif bergerilya dan hampir tidak pernah bisa ditemui di satu tempat tetap.

Mengapa Hamka begitu aktif dalam perjuangan kemerdekaan? Ini tidak lain berdasarkan pada prinsip pokok yang dia pegang. Hamka sangat meyakini bahwa kemerdekaan bangsa sangat mutlak dalam mewujudkan dan meninggikan kemerdekaan diri (self-independence), yang merupakan keutamaan dan kebajikan pokok bagi setiap Muslim-Muslimah. Kemerdekaan diri ini mestilah bersumber dari tauhid. Dan, sebaliknya, bagi Hamka, kemerdekaan bangsa bisa terwujud jika umat Islam memiliki kemerdekaan diri atas dasar tauhid tersebut. Dan, tanpa itu kemerdekaan bangsa akhir dapat hancur berkeping-keping.

Perjuangan dengan integritas
Aktivisme kejuangan Hamka dalam kancah nasional berlanjut ketika dia dalam Pemilu 1955 terpilih lewat Partai Masyumi sebagai anggota konstituante. Dan, lewat konstituante, Masyumi berjuang untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, yang terbukti gagal. Meski Hamka semula mendukung gagasan dan perjuangan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, ia legowo dan selanjutnya menerima Pancasila sebagai dasar negara dan demokrasi sebagai sistem politik.

Tetapi, Hamka segera bersimpang jalan dengan Presiden Soekarno. Pertama, karena kian dominannya PKI. Dan, kedua, karena terus meningkatnya otoritarisme Soekarno. Ujungnya, pada 27 Agustus 1964 Hamka ditangkap dan dipenjarakan dengan tuduhan melakukan kegiatan subversi melawan rezim Soekarno. Pada saat yang sama, Majalah Panji Masyarakat yang dipimpinnya diberedel karena memuat artikel panjang Mohammad Hatta, "Demokrasi Kita", yang kritis terhadap demokrasi terpimpin ala Soekarno.

Hamka adalah pejuang dengan integritas. Dengan integritas, ia berani menyampaikan pesan kebenaran kepada penguasa-apa pun biaya yang kemudian harus ia bayar. Dan, dengan integritasnya itu pula ia menunjukkan bahwa sebagai ulama ia tidak dapat 'dibeli'-apalagi digertak.

Ini terlihat dalam pengalaman hidup Hamka pascakeluar dari tahanan seusai pergantian kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Hamka tidak lagi melibatkan diri dalam politik. Sebaliknya, menghabiskan waktunya dalam aktivisme dakwah, pendidikan, dan kepengarangan. Tetapi, pada 1975, ia menerima permintaan dari Presiden Soeharto untuk menjadi ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dan, pada saat yang sama ia menolak menerima fasilitas dari pemerintah atas posisinya tersebut. 

Adalah integritas diri yang membuat Hamka tidak bisa bertahan terlalu lama sebagai ketua umum MUI. 'Fatwa Natal' yang dikeluarkan MUI pada 7 Maret 1981 yang mengharamkan umat Islam ikut serta dalam 'Natal bersama' tidak disukai pemerintah karena dianggap dapat mengganggu kerukunan antarumat beragama. Buya Hamka menolak keinginan pemerintah-yang diwakili Menteri Agama Alamsjah Ratu Prawiranegara-untuk mencabut fatwa tersebut. Lalu, Hamka memilih mundur dari MUI daripada mengorbankan integritas keulamaannya.

Read more »

Rabu, 16 November 2011

Umat Yang Kekal

Oleh : M. Fuad Nasar., M.Sc
(Wakil Sekretaris Baznas)

Dalam satu riwayat disebutkan, seorang Yahudi datang kepada Khalifah Umar bin Khattab dan berkata, "Ada satu ayat yang telah diturunkan Allah kepada umat Muslim, andai kata ayat itu diturunkan kepada kami (Yahudi), pasti kami akan merayakannya pada hari diturunkannya."


Umar menanggapi, "Ayat manakah yang Anda maksud?" Yahudi itu menjawab, "Pada hari ini Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan Aku telah cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Aku telah meridai Islam sebagai agamamu." (QS al-Maidah [5]: 3). Umar berkata, "Demi Allah, sungguh saya mengetahui dengan pasti hari diturunkannya ayat tersebut. Diturunkan kepada Rasulullah SAW pada hari Jumat, hari Arafah, yang menjadi hari raya bagi seluruh kaum Muslimin di dunia tiap-tiap tahunnya." 

"Berpegang teguh kepada hukum Islam adalah suatu keharusan. Lebih dari itu Allah menjamin kesempurnaan hukum-hukum yang diberikan kepada umat Islam serta menjadikannya sebagai cahaya dan petunjuk. Maka, barang siapa yang menentangnya, pasti akan sesat dan buta hatinya untuk selamanya," tulis Sayyid Sabiq dalam Anashirul Quwwah Fil Islam.

Islam adalah risalah yang terakhir dan mengajarkan kebenaran dan tata nilai yang bersifat universal dan abadi, yang harus diyakini dan diamalkan setiap Muslim. Kebenaran Islam ini harus disebarkan dengan dakwah, bukan dengan jalan pemaksaan dan pengerahan kekuatan fisik. Islam tidak disebarkan dengan kekuatan pedang dan senjata, melainkan dengan kekuatan lidah dan keindahan amal perbuatan para juru dakwah. 

Islam mengajarkan, keseimbangan dan keselarasan antara kemajuan material dan spiritual. Ketakwaan kepada Allah dan amaliah umat, merupakan esensi hidup beragama. Sekiranya ajaran Islam itu dijalankan dengan baik oleh umatnya, maka takkan ada orang miskin yang telantar, tidak ada orang sakit yang tidak bisa berobat, dan tidak akan ada perpecahan, kebodohan, dan kejahatan kemanusiaan di kalangan umat Islam. Kata Syekh Muhammad Abduh, "Islam tertutup oleh umat Islamnya sendiri."

Dewasa ini kita menyaksikan posisi umat Islam yang lemah dalam percaturan politik global. Umat Islam sering kali dimanfaatkan dan dipermainkan oleh situasi yang dibikin oleh orang lain. Pada sebagian negara Muslim, tak jarang ditemukan campur tangan asing akibat ketidakmampuan umat Islam dalam mengelola rumah tangganya sendiri. Meski berada dalam tatanan masyarakat dunia yang multikultural, namun kita bisa menciptakan situasi yang kondusif untuk perkembangan dan hari depan agama ini. Bukankah umat Islam adalah umat terbaik (khaira ummah) yang dilahirkan untuk umat manusia? 

Umat Islam sebagai pemangku risalah Nabi Muhammad SAW adalah umat yang kekal sampai akhir zaman. Sebab, risalah Muhammad adalah risalah yang kekal. Salah satu doa Rasulullah yang dikabulkan oleh Tuhan, ialah umat Islam tidak akan punah dari muka bumi seperti yang dialami umat-umat terdahulu, seberapa pun kelemahan umatnya.

Namun demikian, kejayaan umat Islam dari masa ke masa bergantung pada ikhtiar dan upaya yang dilakukan oleh umat Islam sendiri. Pertolongan Allah akan datang jika umat Islam menjemputnya dengan ikhtiar yang tidak mengenal lelah. 

Wallahu a'lam.



Sumber : Hikmah Repuplika, 15 November 2011

Read more »

Revolusi Arab dalam Sorotan (II)

Oleh : Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif

Selanjutnya, dikatakan bahwa jika akan berlaku perubahan, pastilah secara bertahap, tidak radikal dan tidak revolusioner. "Satu-satunya jalan bagi sebuah perubahan, kami berpikir," tulis Stefan Weidner, "adalah melalui proses perubahan lamban, terpimpin, berawal dari pemerintah sendiri. Atau, karena tekanan dari luar. Di Barat, khususnya, terdapat semacam ketakutan bahwa ancaman terbesar terhadap rezim-rezim yang berkuasa adalah berupa kudeta akibat hasutan kaum ekstremis Muslim. Tak seorang pun percaya bahwa revolusi demokrasi (akan berlaku), seperti yang terjadi di Eropa pada 1989."

Menurut bacaan saya, para pengamat Barat bukan hanya sekarang saja salah hitung. Sekitar tahun 1978, Iran (yang bukan Arab) di bawah Shah Reza Pahlevi sebagai sekutu utama Amerika, masih saja dinilai sebagai sebuah pulau damai di tengah empasan gelombang dahsyat. Apa yang terjadi setahun kemudian adalah terjungkalnya rezim otokratik Pahlevi ini melalui sebuah perubahan radikal yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini, tokoh spiritual Iran yang sebelumnya berada dalam pengasingan di Prancis.

Dunia Barat dan Israel menjadi kalang kabut, tetapi apa mau dikata karena rakyat berada di belakang perubahan mendasar itu. Sejak saat itu, sebenarnya pengaruh Barat telah mulai tersingkir dari kawasan itu. Bedanya, Iran mendahului, sedangkan bangsa-bangsa Arab harus menunggu 30 tahun kemudian atau 10 tahun pasca-Tragedi 9/11 yang kemudian mengubah peta hubungan Barat dengan dunia Arab khususnya, dan dengan dunia Islam umumnya.

Dalam Fikrun wa Fann nomor 95 ini, telah tampil beberapa penulis Arab, Iran, Pakistan, dan Afghanistan yang menyoroti secara kritikal perubahan yang tengah berlaku di negerinya masing-masing akibat Tragedi 9/11 pada 2001. Penulis Aatish Taseer menggambarkan Pakistan sebagai negara yang amat terkena dampak Tragedi 9/11. Penulis perempuan Irak dari Amerika Yasmeen Hanoosh melaporkan pengalaman pribadinya pascaserangan atas Menara Kembar New York itu.

Sarjana keislaman Sonja Hegasy menulis tentang perubahan-perubahan negatif terhadap citra Islam di Barat, terutama di Jerman pasca-Tragedi 9/11. Penulis Arab Saudi Ahmad al-Wasel  memetakan secara garis besar tentang perubahan yang berlaku di Saudi akibat Tragedi 9/11 itu. Teolog Iran Hasan Yousefi Eshkevari dan penulis Lebanon Alawiyyah Sobh mengupas bahaya Islam politik jika dijajarkan dengan pemahaman damai terhadap agama.

Penulis Iran dalam pengasingan, Bahman Nirumand dan Abbas Maroufi, membuat laporan tentang perubahan yang terjadi di Iran. Kemudian, wartawan dan novelis Irak ternama, Ali Badr, menggambarkan betapa sulitnya menjadi Arab atau Muslim pasca-Tragedi 9/11 yang menghebohkan itu.

Taqi Akhlaqi, penulis Afghanistan, membeberkan penderitaan rakyat Afghanistan, khususnya perempuan akibat perang yang dipaksakan Barat atas negeri miskin itu. Di bagian ujung artikelnya, Akhlaqi menulis: "Perempuan Afghan memberikan pengorbanan luar biasa dalam mengasuh anak-anaknya dan harapan mereka terletak pada masa depan anak-anaknya. Mereka ingin kebahagiaan bagi anak-anaknya, menolong mereka untuk melupakan kepahitan masa lampau. Akankah anak-anak mereka punya masa depan yang lebih baik daripada mereka?"

Di samping para penulis Arab, Iran, Pakistan, dan Afghanistan di atas, masih ada beberapa penulis Barat lain yang mengupas akibat buruk dari Tragedi 9/11 yang sebelumnya telah memberikan sorotan awal atas Revolusi Arab yang tak terbayangkan sebelumnya. Jika Revolusi Arab tidak meledak, Fikrun wa Fann tampaknya hanyalah akan mengurai akibat Tragedi 9/11 atas dunia Arab dan Islam. Dengan revolusi ini, cakupan isinya menjadi lebih luas, tidak lagi dibatasi oleh dampak Tragedi 9/11, sebagaimana yang akan dibicarakan lebih jauh, di mana peran para sastrawan dan intelektual juga tidak kecil.

Sumber : Resonansi Repuplika, 15 November 2011

Read more »

Komentar